Jumat, 30 November 2012

Long Life Education


LONG LIFE EDICATION







Aku  belajar diam dari banyaknya bicara,
Aku belajar sabar dari sebuah kemarahan,
Aku belajar mengalah dari suatu keegoisan,
Aku belajar menangis dari kebahagiaan,
Aku belajar tegar dari kehilangan.
 
HIDUP adalah BELAJAR.......
 
Belajar bersyukur meski tak cukup,
Belajar ikhlas meski tak rela,
Belajar taat meski berat,
Belajar memahami meski tak berarti,
Belajar sabar meski terbebani,
Belajar setia meski tergoda,
Belajar memberi meski tak seberapa,
Belajar mengasihi, meski disakti,
Belajar tenang meski gelisah,
Belajar tersenyum meski hati terluka,
Maka,yang ku tau
pembelajaran itu INDAH... !!!
SUNGGUH INDAH..

Sabtu, 03 November 2012

PRINSIP-PRINSIP DASAR BERINTERAKSI DENGAN SUNNAH PERSPEKTIF YUSUF AL-QARDHAWI





PRINSIP-PRINSIP DASAR BERINTERAKSI DENGAN SUNNAH
PERSPEKTIF YUSUF AL-QARDHAWI
A.      Pendahuluan
Hampir semua orang Islam sepakat  akan pentingnya peranan hadis dalam berbagai displin keilmuan Islam seperti tafsir, fiqh, teologi, akhlak dan lain sebagainya. Sebab secara struktural hadis merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an, dan secara fungsional hadis dapat berfungsi sebagai penjelas (bayan) terhadap ayat-ayat yang mujmal atau global. Hal itu dikuat dengan berbagai pernyataan yang gamblang dalam al-Qur’an itu sendiri yang menunjukkan pentingnya merujuk kepada hadis Nabi.
Akan tetapi ternyata secara historis, perjalanan hadis tidak sama dengan perjalanan  al-Qur’an. Jika al-Qur’an  sejak awalnya sudah diadakan pencatatan secar resmi oleh para percatat wahyu atas petunjuk dari Nabi, dan tidak ada tenggang waktu antara turunnya wahyu dengan penulisannya, maka tidak demikian halnya dengan hadis Nabi. Jika al-Qur’an  secara normatif telah ada garansi dari Allah, dan tidak ada keraguan akan otentitasnya, maka tidak demikian halnya dengan hadis Nabi, yang mendapat perlakuan berbeda dari al-Qur’an. Bahkan dari kitab-kitab hadis, terdapat adanya pelarangan penulidan hadis. Hal itu tentunya mempunyai implikasi-implikasi tersendiri bagi transformasi hadis, terutama pada zaman Nabi.
Yusuf Qardhawi merupakan seorang pemikir Islam yang sangat yakin akan kebenaran cara pemikiran Islam yang moderat (al-washatiyah al-Islamiyah). Sebagai ulama yang memilki apresiasi tinggi terhadap al-Qur’an dan sunnah Nabi, Qardhawi sangat fleksibel dalam memandang ajaran Islam. Nemun pada saat yang sama, ia juga sangat kuat dalam mempertahankan pendapat-pendapatnya yang digali dari al-Qur’an dan hadis.

B.       Permasalahan
Dari pendahuluan di atas, maka timbullah permasalahan sebagai berikut ini:
1.      Siapakah Yusuf al-Qardhawi dan bagaimana pemikirannya?
2.      Bagaimana  sikap Yusuf al-Qardhawi terhadap hadis?
3.      Bagaimana prinsip-prinsip dasar berinteraksi dengan sunnah menurut Yusuf al-Qardhawi?


C.      Pembahasan
1.      Biografi Yusuf al-Qardhawi dan pemikirannya
Yusuf al-Qardhawi lahir di desa Shaft Turab, daerah Mahallah al-Kubra, Mesir, pada tanggal 9 September 1926. Pada usia 10 tahun dia sudah hafal al-Qur’an. Pendidikan formalnya ditempuh di al-Azhar Mesir. Keahliannya adalah dalam bidang Aqidah, Tafsir dan Hadis. Ia menepuh studi di Universitas al-Azhar Fakultas Ushuluddin. Diantara karya-karyanya adalah al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber IPTEK dan Peradaban, Fiqh Prioritas sebuah kajian baru berdasarkan al-Qur’an, al-Sunnah dan lain-lain.[1]
Al-Qardhawi termotivasi untuk menelurkan sebuah karya yang memuat prinsip-prinsip dasar dan karakteristik-karakteristik serta aturan-aturan umum yang esensial untuk memahami as-Sunnah dengan yang tepat. Karya tersebut diberi judul “Kaifa Nata’amal ma’a al-Sunnah an-Nabawiyah Ma’alim wa Dhawabith”.  Apa yang menjadi harapannya dalam buku ini adalah”maksimalisasi” pemahaman atas as-Sunnah sebagai tandingan atas minimalisasi pemahaman yang dilakukan oleh sebagian orang ketika hanya berkutat pada pemahaman secara harfiyah, sebuah pemahaman yang hanya menyentuh aspek lahiriyyahnya semaat tanpa menyentuh ruh terdalamnya. Namun, bukan berarti maksimilasasi ini melampui batasannya sebagaimana yang diistilahkan al-Qardhawi dengan “memasuki rumah tanpa melalui pintunya”. Artinya al-Qardhawi mengambil sikap tengah dalam upaay memahami as-Sunnah.[2]
2.      Sikap Yusuf al-Qardhawi terhadap hadis
Di antara para pemikir kontemporer, al-Qardhawi memberikan penjelasanm yang luas tentang bagaimana pemikirannya tentang hadis. Menurut al-Qardhawi, sunnah Nabi mempunyai 3 karakteristik:
a)      Komprehensif (manhaj syumul), artinya mencakup semua kehidupan manusia, baik aspek vertikal, horizontal maupun kedalamannya.
b)      Seimbang (manhaj mutawazun), artuinya keseimbangan antara rohani dan jasmani, akal dan hati, dunia dan akhirat, idealitas dan realitas, cita-cita dan realita, teori dan aplikasi, yang gaib dan yang tampak, kebebasan dan tanggung jawab, invidu dan kelompok, sikap mengikuti contoh Nabi(ittiba’) dan mengada-ada(ibtida’).
c)      Memudahkan (manhaj muyassar), artinya adalah ringan, mudah dan toleran.[3]
Ketiga karakteristik ini yang akan mendatangkan pemahaman yang utuh terhadap suatu hadis.
Atas dasar inilah al-Qardhawi menetapkan tiga hal juga yang harus dihindari dalam berinteraksi dengan sunnah, yaitu:
a)      Penyimpangan kaum ekstrim
b)      Manipulasi orang-orang sesat (Intihal al-Mubthilin), yaitu pemalsuan terhadap ajaran-ajaran Islam dengan membuat berbagai macam bid’ah yang jelas bertentangan dengan akidah dan syari’ah.
c)      Penafsiran orang-orang bodoh (ta’wil al-jahilin). Oleh sebab itu pemahaman yang tepat terhadap sunnah adalah mengambil sikap moderat (wasathiyah),  yaitu tidak berlebihan atau ekstrim, tidak menjadi kelompok sesat dan tidak menjadi kelompok yang bodoh.[4]
3.      Prinsip-prinsip dasar berinteraksi dengan sunnah menurut Yusuf al-Qardhawi
Agar terhindar dari manipulasi orang-orang bathil, penyimpangan orang-orang ekstrim dan penakwilan orang-orang bodoh, siapapun yang berinteraksi dengan sunnah Nabi seharusnya memahami beberapa hal yang merupakan prinsip-prinsip dasar dalam masalah ini.
Pertama, meneliti dengan seksama keshahihan sunnah sesuai dengan  kaidah-kaidah yang telah ditetapkan para imam hadis, yang meliputi sanad dan matan, baik sunnah yang berbentuk ucapan, perbuatan maupun persetujuan. Tidak cukup sampai disitu, ia harus merujuk pada pendapat pakar di bidang ini, yaitu para ahli hadis yang telah menghabiskan usianya dalam mencari, mengkaji dan menyeleksi hadis yang shohih dari yang lemah, hadis yang dapat diterima (maqbul) dari yang ditolak (mardud):[5]
“Dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh yang Maha Mengetahui(ahlinya).” QS. Al-Fathir:14
Para ulama telah merumuskan kerangka besar bagi ilmu hadis,  suatu cabang ilmu yang berakar kokoh dan mendasar. Dalam kaitannya dengan hadis, ilmu ini kedudukannya seperti ilmu ushul fiqh bagi fiqh. Dalam kenyataannya, ilmu ini merupakan ilmu himpunan dari sekumpulan ilmu yang jumlahnya, menurut Ibnu Shalah, mencapai 65 jenis ilmu. As-Suyuti dalam Tadrib ar-Rawi ‘ala Taqrib an-Nawawi bahkan menyebutkan angka 93.[6]
Kedua, memahami teks Nabi dengan baik, seiring dengan petunjuk kebahasaan, konteks hadis, latar belakang pengucapan hadis oleh Nabi(sebab wurud), konteks teks-teks al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi yang lain, dan dalam rangka prinsip-prinsip umum, serta tujuan-tujuan universal Islam. Harus dibedakan pula antara hadis yang diucapkan dalam kerangka menyampaikan misi kerasulan dan yang bukan demikian. Dengan ungkapan lain, antara sunnah yang mengandung muatan hukum (tasyri’) dan yang tidak. Demikian pula hadis-hadis tasyri’ yang bersifat umum dan permanen (dawam) dan yang bersifat khusus atau temporal (ta’qit). Sebab, mencampurkan antara dua hal di atas merupakan kekeliruan yang paling parah dalam memahami sunnah.[7]
Ketiga, memastikan teks hadis tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat, baik al-Qur’an atau hadis yang jumlah rawinya banyak, atau lebih shahih kualitasnya, atau lebih sesuai dengan prinsip-prinsip dasar, atau lebih cocok dengan maksud-maksud penetapan hukum (hikmah at-tasyri’), dan denagn tujuan-tujuan umum syari’at yang bersifat pasti (qath’) karena disimpulkan bukan hanya dari satu atau dua hadis, tetapi diambil dari beberapa hadis dan ketentuan.[8]
D.      Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut ini:
·         Karakteristik sunnah Nabi yaitu: Komprehensif (manhaj syumul), Seimbang (manhaj mutawazun) dan Memudahkan (manhaj muyassar).
·         Hal-hal yang harus dihindari dalam berinteraksi dengan sunnah:
-          Penyimpangan kaum ekstrim
-          Manipulasi orang-orang sesat (Intihal al-Mubthilin).
-          Penafsiran orang-orang bodoh (ta’wil al-jahilin).
·         Prinsip-prinsip dasar berinteraksi dengan sunnah menurut al-Qardawi ada 3 yaitu:
-          Meneliti dengan seksama keshahihan sunnah sesuai dengan  kaidah-kaidah yang telah ditetapkan para imam hadis.
-          Memahami teks Nabi dengan baik.
-          Memastikan teks hadis tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat.

Daftar Pustaka
http://sikap pemikir kontemporer tentang hadis dan implementasinya(studi komparatif atas pemikiran yusuf al-qardhawi dan muhammad al-ghazali) wahyunishifaturrahmah’s blog.htm. diakses pada tanggal 29/11/2011. Jam: 11.02.

Kurdi dkk, Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis, Yogyakarta: el-Saq Press, 2010.

Yusuf al-Qardhawi, Kaifa Nata’mal ma’a as-Sunnah Nabawiyyah, Kairo: Dar asy-Syuruq,, 1991.

Yusuf al-Qardhawi, al-Madkhal li Dirasah as-Sunnah an-Nabawiyah, Kairo: Maktabah Wahbah, Cet. II, 1991 terj. Agus Suyadi dan Dede Rodin, Pengantar Studi Hadis, Bandung: Pustaka Setia, Cet. I, 2007.



[1] Kurdi dkk, Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis, Yogyakarta: el-Saq Press, 2010, hal.434
[2] Ibid,hal.434
[3]http://sikap pemikir kontemporer tentang hadis dan implementasinya(studi komparatif atas pemikiran yusuf al-qardhawi dan muhammad al-ghazali) wahyunishifaturrahmah’s blog.htm. diakses pada tanggal 29/11/2011. Jam: 11.02
[4] Ibid
[5] Yusuf al-Qardhawi, al-Madkhal li Dirasah as-Sunnah an-Nabawiyah, Kairo: Maktabah Wahbah, Cet. II, 1991 terj. Agus Suyadi dan Dede Rodin, Pengantar Studi Hadis, Bandung: Pustaka Setia, Cet. I, 2007, hal. 133
[6] Yusuf al-Qardhawi, Kaifa Nata’mal ma’a as-Sunnah Nabawiyyah, Kairo: Dar asy-Syuruq,, 1991, hal. 43
[7] Op. Cit , hal. 134.
[8] Ibid, hal. 134.

cara membuat nasi goreng ala chef nayla el-hoeda



kita siapkan dulu Resep dan Bahan Nasi Goreng.
Bahan-Bahan yang Diperlukan :
250 gram nasi putih, jangan pilih nasi goreng yang terlalu pulen.
1 butir telur ayam, kocok lepas.
Minyak sayur secukupnya untuk menumis
Bumbu Pertama :
30 gram Bawang Bombay yang sudah dicincang kasar
1 siung bawang putih, dicincang halus
1 butir bawang merah, iris tipis
2 buah cabe merah besar, cuci bersih kemudian iris tipis
1 sdm irisan daun bawang
Bumbu Kedua:
1 sendok makan kecap asin
2 sendok makan kecap manis
1 bungkus kaldu sapi
Garam dan penyedap rasa secukupnya
Berikut adalah langkah-langkah membuat nasi goreng spesial :
  1. Panaskan minyak kemudian tumis bawang bombay dan bawang merah hingga mengeluarkan aroma yang harum.
  2. Masukkan kocokan telur, orak-arik hingga setengah matang kemudian masukkan sisa bumbu pertama kemudian aduk rata.
  3. Masukkan nasi, lalu aduk sampai rata.
  4. Tambahkan bumbu kedua kemudian aduk kembali sampai rata.
  5. Masak hingga matang kemudian sajikan selagi hangat.
Nasi goreng akan semakin nikmat jika ditaburi bawang goreng diatasnya dan acar mentimun serta kerupuk udang atau melinjo yang akan menambah citarasa Nasi Goreng Spesial.
SELAMAT MENCOBA....

Rabu, 30 November 2011



SUBSTANSI HARTA
STUDI ATAS APOLOGI PEMIKIRAN
PROF. DR. SAID RAMADHAN AL-BOUTI
A.    Latar Belakang
Harta adalah kekayaan dari beberapa anugerah dan kenikmatan yang Allah swt berikan kepada hamba-hamba-Nya. Dia tidak mengkhususkan kepada hamba yang iman atau kafir. Oleh karenanya, tidak bisa menjadi standar dan barometer utama bahwa keimanan dan ketaatan seorang hamba Allah swt, terlebih orang yang dicintai Allah swt, dengan adanya gemerlang harta dan kemilau jabatan pangkat. Namun yang menjadi esensi utama keimanan adalah tingkat amal seorang hamba itu sendiri.
Banyak beberapa perspektif dan paradigma dalam penentuan definisi dan klasfikasi harta benda. Banyak sekali beberapa sarjana dan para pemikir dari kalangan disiplin ilmu apapun. Di antaranya adalah sarjana ekonom, sosial, dan agamawan yang tentunya dengan perspektif dan tinjauan yang berbeda pula. Ironisnya adalah seakan sudah menjadi kesepakatan umum untuk tidak terlalu mempersoal esensi dan substansial harta benda sendiri.
Adalah Dr. Said Ramadhan al-Bouti yang juga mendekati definisi harta dengan penelitian dan analisa yang cermat, teliti, dan seksama. Beliau berusaha mengombinasikan pemikiran sarjana ekonomi, melihat latar budaya dan setting sosial, serta mengumpulkan pemikiran dasar Islam dengan dominasi teosofinya. Tentunya sangat menarik kajian yang dilakukan beliau dalam hal ini, sebab bagaimanapun juga syariat Islam bagi masyarakat sekuler, tidak berhak untuk berintervensi dalam kaitan harta benda dan ekonomi. Oleh sebab itu, adalah hal yang menyebabkan pro-kontra dalam penentuan definisi harta itu. Untuk lebih jelasnya, mengenai bagaimana pemikiran Dr. Said Ramadhan mengenai substansi dan esensi harta tersebut, berikut pemakalah uraikan dalam rumusan masalah berikut.
B.     Rumusan Masalah
Ada dua permasalahan yang pemakalah sampaikan, yaitu mengenai:
1)      Bagaimana substansi harta dalam perspektif Dr. Said Ramadhan al-Bouti?
2)      Apa perbedaan pemikiran Dr. Said Ramadhan dengan sarjana ekonomi umum?
C.    Pembahasan
Ada dua pembahasan mengenai permasalahan di atas, yaitu tentang substansi arti harta menurut Syekh Said Ramadhan dan perbedaannya dengan pemikiran sarjana muslim lainnya, sebagaimana berikut.
1.      Substansi Harta dalam Perspektif Dr. Said Ramadhan al-Bouti
Dr. Said Ramadhan al-Bouti menjelaskan tentang defines harta dalam kitabnya, Qodhoya Fiqhiyyah Mu’ashiroh, bahwa:[1]
Kata harta –menurut mayoritas ahli fikih- itu mencakup kemanfaatan substansi dan hasilnya ini. Dan sudah jelas bahwa mata uang (yaitu emas perak dan sesuatu yang bernilai dalam pasar konsumen) itu tidak dimaksudkan dzatiyahnya dan manfaat tidak bisa terealisasi dari substansinya. Namun itu hanyalah standar penyingkap kadar kesetaraan dalam barter kemanfaatan.
Jadi, setiap kemanfaatan substansional disebut harta, namun harta itu belum tentu mempunyai kemanfaatan substansional. Sebab mata uang dan uang kertas adalah harta padahal itu tidak menyimpan kemanfaatan substansional.
Hanya saja, meskipun secara linguistik arti harta itu mencakup segala sesuatu yang bisa dimanfaatkan secara wajar, namun syariat Islam tidak memberikan kata harta untuk makna yang luas ini. Tapi, syariat mengeluarkan dari arti harta, dan kadang dari arti hakikat kemanfaatan pula, segala sesuatu yang dicenderungi nafsu dan diingini hawa. Lompatan di atas konsekuensi tanggung jawab yang Allah posisikan manusia di atasnya dalam dunia ini.
Maka, bangkai, babi, darah, arak dan permainan yang merata di atasnya penyebab keharaman  serta beberapa benda najis itu tidak masuk dalam yang disebut harta secara syara’. Sebab cara memanfaatkannya tidak dianggap dalam syariat Islam. Dan melihat bahwa Islam itu mendidik manusia dari awal perjalanan untuk kiat mendulang rejekinya dengan dorongan tanggung jawab, bukan faktor senang atau rakus diri, maka sesungguhnya segala sesuatu yang tidak sesuai dengan peraturan kemaslahatan secara syari’at yang ada jenjang prioritasnya, itu tidak dianggap meskipun nafsu mengganggap lezat dan melihatnya baik lagi bermanfaat. Dan oleh karenanya, sesuatu itu harus gugur dari sifat harta dalam hukum pembuat syariat, Allah swt.
Dan konsekuensi hal itu adalah bahwa benda-benda semacam ini, atau bahkan kadang-kadang non material juga, itu tidak pantas sebagai pusat dagang dan prinsip mencari rejeki. Dan transaksi yang bergantung padanya tidak bisa bersifat halal atau sahih.”
2.      Perbedaan Pemikiran Dr. Said Ramadhan Dengan Sarjana Ekonomi Umum
Dari beberapa penjelasan dan keterangan di atas menunjukkan ada perbedaan-perbedaan pemikiran antara Syekh Said Ramadhan al-Bouti dengan beberapa pemikir atau sarjana ekonom yang didominasi lulusan Barat dan berbasis sekuler, matrealis, dan modernis. Hal ini tampak dalam beberapa hal berikut ini:
a)   Kata harta dalam syara’ bersifat lebih khusus ketimbang bahasa
Telah beliau sebutkan perbedaan makna bahasa dan makna syara’ tentang harta. Jika secara etimologi harta bersifat umum. Asal ada kemanfaatan yang layak untuk ditukarkan tanpa memandang hukum Allah swt dan peraturan Nabi saw ataupun tidak masuk sama sekali. Berbeda dengan kata harta secara arti terminologi.
Sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Suyuti dalam kitabnya, al-Asybah wa an-Nadzoir sebagaimana berikut ini:[2]
أما المال فقال الشافعي رضي الله عنه : لا يقع اسم مال إلا على ماله قيمة يباع بها و تلزم متلفه و إن قلت و مالا يطرحه الناس مثل الفلس و ما أشبه ذلك انتهى وأما المتمول : فذكر الإمام له في باب اللقطة ضابطين، أحدهما : أن كل ما يقدر له أثر في النفع فهو متمول و كل مالا يظهر له أثر في الانتفاع فهو لقلته خارج عما يتمول، الثاني : أن المتمول هو الذي يعرض له قيمة عند غلاء الأسعار
“Adapun harta, maka asy-Syafii berkata: yaitu yang tidak disebutkan kata harta kecuali atas sesuatu yang memiliki nilai jual dan bagi perusaknya wajib mengganti rugi sekalipun sedikit dan sesuatu yang tidak dibuang manusia, misalnya uang receh dan lainnya, selesai. Adapun mutamawwal, maka Imam Haromain telah menyebutkannya dalam bab Luqothoh dengan dua definisi, pertama sesungguhnya setiap sesuatu yang mampu berbekas dalam manfaat itu disebut mutamawwal dan setiap sesuatu yang tidak tampak nilainya ketika harga tinggi.”
Jelas sudah dari pembagian di atas, mengenai perbedaan mal dan mutamawwal.
b)   Harta harus bersifat syar’i
Menurut Dr. Said Ramadhan, tidak ada sesuatu yang bernilai jual itu disebut harta menurut Islam kecuali sudah mendapatkan legitimitasi dari Syara’ sendiri. Hal ini diperkuatkan dengan firman Allah swt:
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqoroh: 188)
Ayat ini dengan jelas menggambarkan bagaimana Tuhan tidak rela apabila ada transaksi yang tidak sesuai dengan peraturan-Nya, hal ini menunjukkan bahwa tidak ada nama harta yang dianggap-Nya melainkan harus tunduk pula dibawah bimbingan dan perintah-Nya.
c)    Harta bukan maqosid
Inilah yang membuat beda pemikiran Dr. Said Ramadhan dengan sarjana dan pemikir lainnya. Baginya, harta bukanlah tujuan pasti yang akan diambil seseorang yang hidup di dunia ini. Ia hanya ibarat setetes embun yang dikonsumsi seseoran di waktu pagi untuk menyambung kehidupannya guna meneruskan hayat di siang, sore, hingga bertahan di kegelapan malam kelak.
Begitu juga dengan dunia dan harta benda di mata Syekh Said, nuansa tasawwuf beliau tampak jelas dalam penyifatannya. Dan dalam realitas kehidupan beliau, tidak menunjukkan sama sekali akan kehidupan yang serba kecukupan bahkan bermewahan glamaour, tidak.[3] Bahkan sebaliknya, beliau sangat sederhana dan merasa berkecukupan dengan kehidupannya itu.
Inilah maksud beliau bahwa kehidupan dunia tak lain sebagai sarana prasarana saja, tidak lebih.[4] Oleh karena itu, tidak layak bagi seorang muslim untuk berprinsip matrealisme, apalagi sampai berpikir sekulerisme. Na’udzu billah min dzalik.

Daftar Pustaka
Jalaluddin as-Suyuti, Al-Asybah wa an-Nadzoir, Maktabah: Syamilah versi 3, 45.
Said Ramadhan al-Bouti, Qodhoya Fiqhiyyah Mu’ashiroh, Darul Farobi, Damaskus, 2001.
Turmudzi, Sunan, Maktabah: Syamilah versi 3, 45.


[1] Said Ramadhan al-Bouti, Qodhoya Fiqhiyyah Mu’ashiroh, Darul Farobi, Damaskus, 2001, hlm. 31.
[2] Jalaluddin as-Suyuti, Al-Asybah wa an-Nadzoir, Maktabah: Syamilah versi 3, 45, hlm. 553.
[3] Sebagaimana yang dikatakan muridnya, Ust. Sa’duddin Nasikh, dosen pengampu TH Khusus mata kuliah Qodhoya Fiqhiyyah Mu’ashiroh, pada hari Senin.
[4] Hal ini tampak dalam isyarat sabda Nabi saw: dan sesungguhnya dunia adalah hehijauan yang manis. Sebagai lambang manusia harus bersikap waspada. HR. Turmudzi, Sunan, Maktabah: Syamilah versi 3, 45, hadis ke-2387.

Rabu, 23 November 2011



HUBUNGAN ORGANIS AL-QUR’AN DAN SUNNAH MENURUT MUSTOFA AL-SIBA’I

A.    Latar Belakang Masalah
Al-quran adalah wahyu yang sangat dibanggakan oleh ummat islam pada umumnya sebagai pokok ajaran islam. Keontentikannya sangat terjaga sebagaimana yang tersurat dala al-quran tersebut. Seabagi pokok ajaran yang menjadi ajaran kaum muslim, al-quran lebih sering memunculkan hukum-hukum yang secara penyampaiannya masih global. Sehingga, kita sebagai kaum muslim masih bertanya bagaimana kejelasan hukum yang ada dalam  al-quran untuk kita praktekan secara sytara’. Dari hal ini kita membutuhkan sebuah penjelas yang tentunya tidak lain kita rujukan pada sang penyampai wahyu illahi yaitu baginda Rasulullah dengan kita memahami Sunnah-sunnah yang beliau sampaikan.
Sunnah dalam pengertian kebahasaan: jalan, baik yang terpuji ataupun yang tercela. Dan sunnah dalam pengertian ahli hadits adalah sesuatu yang didapatkan dari Nabi SAW., yang terdiri dari sabda, perbuatan, persetujuan, sifat fisik atau budi, atau baik dari masa sebelum kenabian atau sesudahnya. [1] Sunnah dalam pengertian ini  sinonim dengan hadits menurut  sebagian dari mereka.
Sebaian besar umat muslim menyadari pentingnya sunnah dalam sistem keagamaan mereka. Meskipun secara definisi “sunnah” adalah perilaku para nabi SAW secara keseluruhannya, namun dalam kenyataannya Sunnah hampir identik dengan hadits, yaitu “laporan” tentang perilaku nabi.[2] 
Berbicara tentang hubungan organis antara al-Qur-an dengan Sunnah disini sangatlah  urgensi sekali, dipandang dari segi bagamana pentingnya al-qur’an dan sunnah bagi ummat muslim sebagai salah atu rujukan terpenting dalam islam dalam menentukan hukum-hukum islam.
Dalam hal ini tokoh islam yang dilahirkan di kota Homs, salah satu dari kota yang ada di negeri Syiria, pada tahun 1915 M, bertepatan dengan tahun 1333 H. Dengan nama Mustafa Al-Siba’i. Beliau mengungkapkan adanya hubungan yang organis antara al-Qur’an dan Sunnah.

B.     Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Siapakah Mustofa Al-Siba’i itu?
2.      Bagaimana hubungan organis  al-qur’an dan sunnah menurut Mustafa As-siba’i?
3.      Bagaimana aplikasi hubungan organis al-Qur’an dengan as-Sunnah?

C.    Pembahasan
1.      Sekilas tentang Musthofa as-Siba’i
Dalam suasana kekuasaan dunia Islam (Timur) yang kian tidak menentu, yaitu pada akhir masa kekuasaan Turki Usmani yang sudah lemah dan saat-saat menjelang datangnya kekuasaan Dunia Barat yang Non-Muslim di negara-negara Islam, Musthafa al-Siba’i lahir.
Nama lengkapnya adalah Musthafa bin Husni Abu Hasan al-Siba’i. Al-Siba’i dilahirkan di kota Homs, salah satu dari kota yang ada di negeri Syiria, pada tahun 1915 M, bertepatan dengan tahun 1333 H. Kota –koya lain yang termasuk tertua di negara seluas 185.180 km2 itu adalah Damaskus, Aleppo atau Haleb, Homs, Latika fan Hama.
Sejak usia 18 tahun dia pindah ke Mesir, suatu negara yang banyak mempengaruhi perkembangan intelektual dan kehidupannya baik pada masa remajanyan maupun pada masa kemudian, yang dilengkapinya dengan terjun diaktifitas politik dalam penggabungan dirinya dengan Hasan al-Banna, tokoh Ikhwan al-Muslimin.
Jadi, di Homs dan Kairolah al-Siba’i banyak menimbah ilmu pengetahuan dan pengalaman, yang kemudian dikenal turut membesarkan namanya. Di Kairo misalnya, pada usia al-Siba’i yang ke-34 (1949), Universitas al-Azhar sempat mengangkat prestasi akademiknya, ketika dia berhasil meraih gelar doktor dalam bidang Syari’ah dan Sejarah Pemikiran Hukum Islam (al-Tasyri’ al-Islami wa Tarikhihi). Dari gelar doktornya itu terlihat bahwa al-Siba’i adalah seorang ilmuwan yang ahli hukum atau syari’at islam dan sejarah, yaitu suatu kredebilitas yang dapat mendudukannya sebagai tokoh yang ahli disiplin hadis dan sejarah. Kenyataan dimaksud pada masakemudian diikuti dengan pemunculan kitabnya yang merupakan karya monumentalnya yang berjudul as-Sunnah wa Wamakanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami.
Setahun setelah penyelesaian doktornya, pada tahun 1950 al-Siba’i pulang ke negeri asalnya, Syiria. Sejak itu, dia memposisikan diri sebagai ilmuwan atau pemikir yang aktif berjuang di samping sebagai pendidik yang aktif berkiprah di perguruan tinggi, di organisasi keislaman, juga di dunia penerbitan.  Selama di Syiria itu, dia pernah menangani beberapa jabatan, sejak sebagai Guru Besar di Fakultas Hukum (Huquq), Dekan Fakultas Syari’ah, serta Pembimbing Umum Organisasi Ikhwan al-Muslimin (1955). Dalam masa itu pula, dia sempat mendirikan majalah Hadlarat al-Islam yang ternit secara reguler. Sewaktu penjajahan Inggris(1882-1914), dia aktif melawan penjajah demi mempertahankan martabat ummat, sehingga sempat beberapa kali mendekam di penjara. Misalnya, dia pernah sekitar enam bulan dipenjarakan di Mesir dan Palestina. Kemudian, sebebasnya dari penjara Farnisin, dia kembali menghunin penjara di Libanon, selama 30 bulan. Setelah dibebaskan dari penjarah, pada tahun 1983, dia memperkuat kompi Ikhwan al-Muslimin dalam mempertahankan Baitul Maqdis.
Dari kombinasi keilmuan yang dimiliki serta keaktifannya dalam dunia pendidikan serta perjuangan, maka al-Siba’i juga dikenal sebagai seorang ntokoh yang alim dan ahli tela’ah. Dari kealimannya di bidang ilmu agama itu, dia telah memperlihatkan kemampuan dalam mengkaji secara mendalam naskah ilmu-ilmu primer (al-Namth al-Qadim) di al-Azhar Mesir, juga di dalam pertemuan-pertemuan dengan para alim dan tokoh cendekiawan Syiria sehingga mampu mengambil apa-apa yang jernih darinya. Dan ternyata, kemampuannya itu bukan sebatas menguasai ilmu-ilmu yang digali dari sumber data naskah klasik. Sebab, dia juga tahu banyak tentang ilmu-ilmu kekinian. Seperti, hasil kunjungannya ke Eropa telah membuatnya banyak memperoleh ilmu-ilmu baru tentang metodologi keilmuan, kebudayaan dan politik. Dari penguasaan keahlian dimaksud, kiranya dapat dipahami bila dari buah tangan al-Siba’i telah diproduk kitab-kitab sesuai dengan keahliannya yang banyak menyebar di kalangan negara-negara Islam, seperti as-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami (suatu disiplin hadis dan hukum Islam), al-Mar’ah bayn al-Fiqh wa al-Qanun (suatu disiplin hukum dan perundang-undangan), Min Rawa’i Hadlarah-tina(suatu disiplin Sejarah Peradapan Islam),dan al-Isytira-kiyat al-Islam(Sosialisme Islam).[3]

2.      Hubungan al-Qur’an dan Sunnah menurut Mustafa as-Siba’i
Berbicara tentang mustafa as-siba’i kita bisa mengambil beberapa pemahamannya termasuk mengenai pemikirannya tentang al-qur’an dan as-sunnah. Beliau berkata bahwasannya para sahabat di masa Rasulullah memahami hukum-hukum syara’ dari al-Qur’an yang mereka terima langsung dari rasulullah, kebanyakan ayat dalam al-Qur’an itu turun dalam garis besar saja, atau tidak dirinci, atau umum, tidak diberi batas. Seperti halya perinah sholat yang datang secara garis besar, tanpa ada keterangan dalam al-Qur’an jumlah rakaatnya, cara mengerjakannya, dan waktunya.[4]
Selanjutnya banyak kejadian yang mereka alami yang tidqak ada nasnya dalam al-Qur’an. Maka tidak bisa lain daripada mendapatkan kejelasan hukumnya dengan perantara nabi SAW., sebab beliau adalah pembawa berita dari Tuhan, dan adalah yang paling tahu dari seluruh makhluk tentang maksud syari’at Allah, begitu pula batasan, metode dan tujuannya. Dijelaskan dalam al-qur’an bahwa ada tugas khusus bagi nabi dalam fungsi sebagi penjelas al-qur’an, sebagaimana Firma Allah :

!$tBur $uZø9tRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# žwÎ) tûÎiüt7çFÏ9 ÞOçlm; Ï%©!$# (#qàÿn=tG÷z$# ÏmŠÏù   Yèdur ZpuH÷quur 5Qöqs)Ïj9 šcqãZÏB÷sムÇÏÍÈ
Dan kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (Q.S. An-Nahl: 64)
Dalam ayat ini dijelaskan bahwasanya Allah menjelaskan bahwa tugas kamu (rasulullah) itu ialah menunjukkan mana yang benar ketika orang berselisih mengenai suatu hal. Dari hal ini tampak jelas sekali bahwa dalam al-quran mempunyai suatu hubungan yang sanngat organis dengan Sunnah nabi, dimana posisi sunnah nabi adalah sebagai penjelas dari al-Quran tersebut. Allah telah memberitakan dalam kitab suci tugas Rasul dalam hubungannya dengan al-Quran, bahwa beliau adalah penerang dan penjelas tentang tujuan-tujuan dan ayat-ayatnya, sebagaiman difirmankan Allah :

ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ ̍ç/9$#ur 3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍköŽs9Î) öNßg¯=yès9ur šcr㍩3xÿtGtƒ ÇÍÍÈ
Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka[5]dan supaya mereka memikirkan, (Q.S. An-Nahl: 44)
Dalam al-quran disebutkan bahwasanya Allah juga mewajibkan manusia menerima keputusan nabi dari segala perselisihan :
Ÿxsù y7În/uur Ÿw šcqãYÏB÷sム4Ó®Lym x8qßJÅj3ysム$yJŠÏù tyfx© óOßgoY÷t/ §NèO Ÿw (#rßÅgs þÎû öNÎhÅ¡àÿRr& %[`tym $£JÏiB |MøŠŸÒs% (#qßJÏk=|¡çur $VJŠÎ=ó¡n@ ÇÏÎÈ
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.(Q.S. An-Nisa : 65).

3.    Aplikasi adanya  hubungan yang organis antara teks al-Quran dan Sunnah

D.    Simpulan
·      Mustafa Al-Siba’i adalah tokoh muslim yang dilahirkan di kota Homs, salah satu dari kota yang ada di negeri Syiria, pada tahun 1915 M, bertepatan dengan tahun 1333 H.
·      Mustafa Al-Siba’i mengungkap adanya hubungan yang organis antara al-Qur’an dan sunnah karena dalam al-Qur’an sendiri dengan jelas memerintahkan Nabi (sebagi sumber Sunnah)  untuk menjelaskan al-Qur’an.
·       


E.     Penutup





Daftar Pustaka

M. Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah, Jakarta: Prenada Media, 2003,
Mustafa Al-Siba’i, Sunnah Dan Perananannya Dalam Penetapan Hukum Islam Sebuah Pembelaan Kaum Sunni (Terj. Nurcholish Madjid), jakarta: Pustaka Firdaus, 1991,
.



[1] Dikutip dari Qawa’id al-tahdits, Hlm. 35
[2] Ungkapan Nurcholish Madjid Dalam pengantarnya pada buku terjemahannya karya Musthofa Al-Siba’i.
[3] M. Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah, Jakarta: Prenada Media, 2003, hal.16-21
[4] Mustafa Al-Siba’i, Sunnah Dan Perananannya Dalam Penetapan Hukum Islam Sebuah Pembelaan Kaum Sunni (Terj. Nurcholish Madjid), jakarta: Pustaka Firdaus, 1991, hal. 3
[5] Yakni: perintah-perintah, larangan-larangan, aturan dan lain-lain yang terdapat dalam Al Quran.