Rabu, 30 November 2011



SUBSTANSI HARTA
STUDI ATAS APOLOGI PEMIKIRAN
PROF. DR. SAID RAMADHAN AL-BOUTI
A.    Latar Belakang
Harta adalah kekayaan dari beberapa anugerah dan kenikmatan yang Allah swt berikan kepada hamba-hamba-Nya. Dia tidak mengkhususkan kepada hamba yang iman atau kafir. Oleh karenanya, tidak bisa menjadi standar dan barometer utama bahwa keimanan dan ketaatan seorang hamba Allah swt, terlebih orang yang dicintai Allah swt, dengan adanya gemerlang harta dan kemilau jabatan pangkat. Namun yang menjadi esensi utama keimanan adalah tingkat amal seorang hamba itu sendiri.
Banyak beberapa perspektif dan paradigma dalam penentuan definisi dan klasfikasi harta benda. Banyak sekali beberapa sarjana dan para pemikir dari kalangan disiplin ilmu apapun. Di antaranya adalah sarjana ekonom, sosial, dan agamawan yang tentunya dengan perspektif dan tinjauan yang berbeda pula. Ironisnya adalah seakan sudah menjadi kesepakatan umum untuk tidak terlalu mempersoal esensi dan substansial harta benda sendiri.
Adalah Dr. Said Ramadhan al-Bouti yang juga mendekati definisi harta dengan penelitian dan analisa yang cermat, teliti, dan seksama. Beliau berusaha mengombinasikan pemikiran sarjana ekonomi, melihat latar budaya dan setting sosial, serta mengumpulkan pemikiran dasar Islam dengan dominasi teosofinya. Tentunya sangat menarik kajian yang dilakukan beliau dalam hal ini, sebab bagaimanapun juga syariat Islam bagi masyarakat sekuler, tidak berhak untuk berintervensi dalam kaitan harta benda dan ekonomi. Oleh sebab itu, adalah hal yang menyebabkan pro-kontra dalam penentuan definisi harta itu. Untuk lebih jelasnya, mengenai bagaimana pemikiran Dr. Said Ramadhan mengenai substansi dan esensi harta tersebut, berikut pemakalah uraikan dalam rumusan masalah berikut.
B.     Rumusan Masalah
Ada dua permasalahan yang pemakalah sampaikan, yaitu mengenai:
1)      Bagaimana substansi harta dalam perspektif Dr. Said Ramadhan al-Bouti?
2)      Apa perbedaan pemikiran Dr. Said Ramadhan dengan sarjana ekonomi umum?
C.    Pembahasan
Ada dua pembahasan mengenai permasalahan di atas, yaitu tentang substansi arti harta menurut Syekh Said Ramadhan dan perbedaannya dengan pemikiran sarjana muslim lainnya, sebagaimana berikut.
1.      Substansi Harta dalam Perspektif Dr. Said Ramadhan al-Bouti
Dr. Said Ramadhan al-Bouti menjelaskan tentang defines harta dalam kitabnya, Qodhoya Fiqhiyyah Mu’ashiroh, bahwa:[1]
Kata harta –menurut mayoritas ahli fikih- itu mencakup kemanfaatan substansi dan hasilnya ini. Dan sudah jelas bahwa mata uang (yaitu emas perak dan sesuatu yang bernilai dalam pasar konsumen) itu tidak dimaksudkan dzatiyahnya dan manfaat tidak bisa terealisasi dari substansinya. Namun itu hanyalah standar penyingkap kadar kesetaraan dalam barter kemanfaatan.
Jadi, setiap kemanfaatan substansional disebut harta, namun harta itu belum tentu mempunyai kemanfaatan substansional. Sebab mata uang dan uang kertas adalah harta padahal itu tidak menyimpan kemanfaatan substansional.
Hanya saja, meskipun secara linguistik arti harta itu mencakup segala sesuatu yang bisa dimanfaatkan secara wajar, namun syariat Islam tidak memberikan kata harta untuk makna yang luas ini. Tapi, syariat mengeluarkan dari arti harta, dan kadang dari arti hakikat kemanfaatan pula, segala sesuatu yang dicenderungi nafsu dan diingini hawa. Lompatan di atas konsekuensi tanggung jawab yang Allah posisikan manusia di atasnya dalam dunia ini.
Maka, bangkai, babi, darah, arak dan permainan yang merata di atasnya penyebab keharaman  serta beberapa benda najis itu tidak masuk dalam yang disebut harta secara syara’. Sebab cara memanfaatkannya tidak dianggap dalam syariat Islam. Dan melihat bahwa Islam itu mendidik manusia dari awal perjalanan untuk kiat mendulang rejekinya dengan dorongan tanggung jawab, bukan faktor senang atau rakus diri, maka sesungguhnya segala sesuatu yang tidak sesuai dengan peraturan kemaslahatan secara syari’at yang ada jenjang prioritasnya, itu tidak dianggap meskipun nafsu mengganggap lezat dan melihatnya baik lagi bermanfaat. Dan oleh karenanya, sesuatu itu harus gugur dari sifat harta dalam hukum pembuat syariat, Allah swt.
Dan konsekuensi hal itu adalah bahwa benda-benda semacam ini, atau bahkan kadang-kadang non material juga, itu tidak pantas sebagai pusat dagang dan prinsip mencari rejeki. Dan transaksi yang bergantung padanya tidak bisa bersifat halal atau sahih.”
2.      Perbedaan Pemikiran Dr. Said Ramadhan Dengan Sarjana Ekonomi Umum
Dari beberapa penjelasan dan keterangan di atas menunjukkan ada perbedaan-perbedaan pemikiran antara Syekh Said Ramadhan al-Bouti dengan beberapa pemikir atau sarjana ekonom yang didominasi lulusan Barat dan berbasis sekuler, matrealis, dan modernis. Hal ini tampak dalam beberapa hal berikut ini:
a)   Kata harta dalam syara’ bersifat lebih khusus ketimbang bahasa
Telah beliau sebutkan perbedaan makna bahasa dan makna syara’ tentang harta. Jika secara etimologi harta bersifat umum. Asal ada kemanfaatan yang layak untuk ditukarkan tanpa memandang hukum Allah swt dan peraturan Nabi saw ataupun tidak masuk sama sekali. Berbeda dengan kata harta secara arti terminologi.
Sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Suyuti dalam kitabnya, al-Asybah wa an-Nadzoir sebagaimana berikut ini:[2]
أما المال فقال الشافعي رضي الله عنه : لا يقع اسم مال إلا على ماله قيمة يباع بها و تلزم متلفه و إن قلت و مالا يطرحه الناس مثل الفلس و ما أشبه ذلك انتهى وأما المتمول : فذكر الإمام له في باب اللقطة ضابطين، أحدهما : أن كل ما يقدر له أثر في النفع فهو متمول و كل مالا يظهر له أثر في الانتفاع فهو لقلته خارج عما يتمول، الثاني : أن المتمول هو الذي يعرض له قيمة عند غلاء الأسعار
“Adapun harta, maka asy-Syafii berkata: yaitu yang tidak disebutkan kata harta kecuali atas sesuatu yang memiliki nilai jual dan bagi perusaknya wajib mengganti rugi sekalipun sedikit dan sesuatu yang tidak dibuang manusia, misalnya uang receh dan lainnya, selesai. Adapun mutamawwal, maka Imam Haromain telah menyebutkannya dalam bab Luqothoh dengan dua definisi, pertama sesungguhnya setiap sesuatu yang mampu berbekas dalam manfaat itu disebut mutamawwal dan setiap sesuatu yang tidak tampak nilainya ketika harga tinggi.”
Jelas sudah dari pembagian di atas, mengenai perbedaan mal dan mutamawwal.
b)   Harta harus bersifat syar’i
Menurut Dr. Said Ramadhan, tidak ada sesuatu yang bernilai jual itu disebut harta menurut Islam kecuali sudah mendapatkan legitimitasi dari Syara’ sendiri. Hal ini diperkuatkan dengan firman Allah swt:
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqoroh: 188)
Ayat ini dengan jelas menggambarkan bagaimana Tuhan tidak rela apabila ada transaksi yang tidak sesuai dengan peraturan-Nya, hal ini menunjukkan bahwa tidak ada nama harta yang dianggap-Nya melainkan harus tunduk pula dibawah bimbingan dan perintah-Nya.
c)    Harta bukan maqosid
Inilah yang membuat beda pemikiran Dr. Said Ramadhan dengan sarjana dan pemikir lainnya. Baginya, harta bukanlah tujuan pasti yang akan diambil seseorang yang hidup di dunia ini. Ia hanya ibarat setetes embun yang dikonsumsi seseoran di waktu pagi untuk menyambung kehidupannya guna meneruskan hayat di siang, sore, hingga bertahan di kegelapan malam kelak.
Begitu juga dengan dunia dan harta benda di mata Syekh Said, nuansa tasawwuf beliau tampak jelas dalam penyifatannya. Dan dalam realitas kehidupan beliau, tidak menunjukkan sama sekali akan kehidupan yang serba kecukupan bahkan bermewahan glamaour, tidak.[3] Bahkan sebaliknya, beliau sangat sederhana dan merasa berkecukupan dengan kehidupannya itu.
Inilah maksud beliau bahwa kehidupan dunia tak lain sebagai sarana prasarana saja, tidak lebih.[4] Oleh karena itu, tidak layak bagi seorang muslim untuk berprinsip matrealisme, apalagi sampai berpikir sekulerisme. Na’udzu billah min dzalik.

Daftar Pustaka
Jalaluddin as-Suyuti, Al-Asybah wa an-Nadzoir, Maktabah: Syamilah versi 3, 45.
Said Ramadhan al-Bouti, Qodhoya Fiqhiyyah Mu’ashiroh, Darul Farobi, Damaskus, 2001.
Turmudzi, Sunan, Maktabah: Syamilah versi 3, 45.


[1] Said Ramadhan al-Bouti, Qodhoya Fiqhiyyah Mu’ashiroh, Darul Farobi, Damaskus, 2001, hlm. 31.
[2] Jalaluddin as-Suyuti, Al-Asybah wa an-Nadzoir, Maktabah: Syamilah versi 3, 45, hlm. 553.
[3] Sebagaimana yang dikatakan muridnya, Ust. Sa’duddin Nasikh, dosen pengampu TH Khusus mata kuliah Qodhoya Fiqhiyyah Mu’ashiroh, pada hari Senin.
[4] Hal ini tampak dalam isyarat sabda Nabi saw: dan sesungguhnya dunia adalah hehijauan yang manis. Sebagai lambang manusia harus bersikap waspada. HR. Turmudzi, Sunan, Maktabah: Syamilah versi 3, 45, hadis ke-2387.

Rabu, 23 November 2011



HUBUNGAN ORGANIS AL-QUR’AN DAN SUNNAH MENURUT MUSTOFA AL-SIBA’I

A.    Latar Belakang Masalah
Al-quran adalah wahyu yang sangat dibanggakan oleh ummat islam pada umumnya sebagai pokok ajaran islam. Keontentikannya sangat terjaga sebagaimana yang tersurat dala al-quran tersebut. Seabagi pokok ajaran yang menjadi ajaran kaum muslim, al-quran lebih sering memunculkan hukum-hukum yang secara penyampaiannya masih global. Sehingga, kita sebagai kaum muslim masih bertanya bagaimana kejelasan hukum yang ada dalam  al-quran untuk kita praktekan secara sytara’. Dari hal ini kita membutuhkan sebuah penjelas yang tentunya tidak lain kita rujukan pada sang penyampai wahyu illahi yaitu baginda Rasulullah dengan kita memahami Sunnah-sunnah yang beliau sampaikan.
Sunnah dalam pengertian kebahasaan: jalan, baik yang terpuji ataupun yang tercela. Dan sunnah dalam pengertian ahli hadits adalah sesuatu yang didapatkan dari Nabi SAW., yang terdiri dari sabda, perbuatan, persetujuan, sifat fisik atau budi, atau baik dari masa sebelum kenabian atau sesudahnya. [1] Sunnah dalam pengertian ini  sinonim dengan hadits menurut  sebagian dari mereka.
Sebaian besar umat muslim menyadari pentingnya sunnah dalam sistem keagamaan mereka. Meskipun secara definisi “sunnah” adalah perilaku para nabi SAW secara keseluruhannya, namun dalam kenyataannya Sunnah hampir identik dengan hadits, yaitu “laporan” tentang perilaku nabi.[2] 
Berbicara tentang hubungan organis antara al-Qur-an dengan Sunnah disini sangatlah  urgensi sekali, dipandang dari segi bagamana pentingnya al-qur’an dan sunnah bagi ummat muslim sebagai salah atu rujukan terpenting dalam islam dalam menentukan hukum-hukum islam.
Dalam hal ini tokoh islam yang dilahirkan di kota Homs, salah satu dari kota yang ada di negeri Syiria, pada tahun 1915 M, bertepatan dengan tahun 1333 H. Dengan nama Mustafa Al-Siba’i. Beliau mengungkapkan adanya hubungan yang organis antara al-Qur’an dan Sunnah.

B.     Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Siapakah Mustofa Al-Siba’i itu?
2.      Bagaimana hubungan organis  al-qur’an dan sunnah menurut Mustafa As-siba’i?
3.      Bagaimana aplikasi hubungan organis al-Qur’an dengan as-Sunnah?

C.    Pembahasan
1.      Sekilas tentang Musthofa as-Siba’i
Dalam suasana kekuasaan dunia Islam (Timur) yang kian tidak menentu, yaitu pada akhir masa kekuasaan Turki Usmani yang sudah lemah dan saat-saat menjelang datangnya kekuasaan Dunia Barat yang Non-Muslim di negara-negara Islam, Musthafa al-Siba’i lahir.
Nama lengkapnya adalah Musthafa bin Husni Abu Hasan al-Siba’i. Al-Siba’i dilahirkan di kota Homs, salah satu dari kota yang ada di negeri Syiria, pada tahun 1915 M, bertepatan dengan tahun 1333 H. Kota –koya lain yang termasuk tertua di negara seluas 185.180 km2 itu adalah Damaskus, Aleppo atau Haleb, Homs, Latika fan Hama.
Sejak usia 18 tahun dia pindah ke Mesir, suatu negara yang banyak mempengaruhi perkembangan intelektual dan kehidupannya baik pada masa remajanyan maupun pada masa kemudian, yang dilengkapinya dengan terjun diaktifitas politik dalam penggabungan dirinya dengan Hasan al-Banna, tokoh Ikhwan al-Muslimin.
Jadi, di Homs dan Kairolah al-Siba’i banyak menimbah ilmu pengetahuan dan pengalaman, yang kemudian dikenal turut membesarkan namanya. Di Kairo misalnya, pada usia al-Siba’i yang ke-34 (1949), Universitas al-Azhar sempat mengangkat prestasi akademiknya, ketika dia berhasil meraih gelar doktor dalam bidang Syari’ah dan Sejarah Pemikiran Hukum Islam (al-Tasyri’ al-Islami wa Tarikhihi). Dari gelar doktornya itu terlihat bahwa al-Siba’i adalah seorang ilmuwan yang ahli hukum atau syari’at islam dan sejarah, yaitu suatu kredebilitas yang dapat mendudukannya sebagai tokoh yang ahli disiplin hadis dan sejarah. Kenyataan dimaksud pada masakemudian diikuti dengan pemunculan kitabnya yang merupakan karya monumentalnya yang berjudul as-Sunnah wa Wamakanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami.
Setahun setelah penyelesaian doktornya, pada tahun 1950 al-Siba’i pulang ke negeri asalnya, Syiria. Sejak itu, dia memposisikan diri sebagai ilmuwan atau pemikir yang aktif berjuang di samping sebagai pendidik yang aktif berkiprah di perguruan tinggi, di organisasi keislaman, juga di dunia penerbitan.  Selama di Syiria itu, dia pernah menangani beberapa jabatan, sejak sebagai Guru Besar di Fakultas Hukum (Huquq), Dekan Fakultas Syari’ah, serta Pembimbing Umum Organisasi Ikhwan al-Muslimin (1955). Dalam masa itu pula, dia sempat mendirikan majalah Hadlarat al-Islam yang ternit secara reguler. Sewaktu penjajahan Inggris(1882-1914), dia aktif melawan penjajah demi mempertahankan martabat ummat, sehingga sempat beberapa kali mendekam di penjara. Misalnya, dia pernah sekitar enam bulan dipenjarakan di Mesir dan Palestina. Kemudian, sebebasnya dari penjara Farnisin, dia kembali menghunin penjara di Libanon, selama 30 bulan. Setelah dibebaskan dari penjarah, pada tahun 1983, dia memperkuat kompi Ikhwan al-Muslimin dalam mempertahankan Baitul Maqdis.
Dari kombinasi keilmuan yang dimiliki serta keaktifannya dalam dunia pendidikan serta perjuangan, maka al-Siba’i juga dikenal sebagai seorang ntokoh yang alim dan ahli tela’ah. Dari kealimannya di bidang ilmu agama itu, dia telah memperlihatkan kemampuan dalam mengkaji secara mendalam naskah ilmu-ilmu primer (al-Namth al-Qadim) di al-Azhar Mesir, juga di dalam pertemuan-pertemuan dengan para alim dan tokoh cendekiawan Syiria sehingga mampu mengambil apa-apa yang jernih darinya. Dan ternyata, kemampuannya itu bukan sebatas menguasai ilmu-ilmu yang digali dari sumber data naskah klasik. Sebab, dia juga tahu banyak tentang ilmu-ilmu kekinian. Seperti, hasil kunjungannya ke Eropa telah membuatnya banyak memperoleh ilmu-ilmu baru tentang metodologi keilmuan, kebudayaan dan politik. Dari penguasaan keahlian dimaksud, kiranya dapat dipahami bila dari buah tangan al-Siba’i telah diproduk kitab-kitab sesuai dengan keahliannya yang banyak menyebar di kalangan negara-negara Islam, seperti as-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami (suatu disiplin hadis dan hukum Islam), al-Mar’ah bayn al-Fiqh wa al-Qanun (suatu disiplin hukum dan perundang-undangan), Min Rawa’i Hadlarah-tina(suatu disiplin Sejarah Peradapan Islam),dan al-Isytira-kiyat al-Islam(Sosialisme Islam).[3]

2.      Hubungan al-Qur’an dan Sunnah menurut Mustafa as-Siba’i
Berbicara tentang mustafa as-siba’i kita bisa mengambil beberapa pemahamannya termasuk mengenai pemikirannya tentang al-qur’an dan as-sunnah. Beliau berkata bahwasannya para sahabat di masa Rasulullah memahami hukum-hukum syara’ dari al-Qur’an yang mereka terima langsung dari rasulullah, kebanyakan ayat dalam al-Qur’an itu turun dalam garis besar saja, atau tidak dirinci, atau umum, tidak diberi batas. Seperti halya perinah sholat yang datang secara garis besar, tanpa ada keterangan dalam al-Qur’an jumlah rakaatnya, cara mengerjakannya, dan waktunya.[4]
Selanjutnya banyak kejadian yang mereka alami yang tidqak ada nasnya dalam al-Qur’an. Maka tidak bisa lain daripada mendapatkan kejelasan hukumnya dengan perantara nabi SAW., sebab beliau adalah pembawa berita dari Tuhan, dan adalah yang paling tahu dari seluruh makhluk tentang maksud syari’at Allah, begitu pula batasan, metode dan tujuannya. Dijelaskan dalam al-qur’an bahwa ada tugas khusus bagi nabi dalam fungsi sebagi penjelas al-qur’an, sebagaimana Firma Allah :

!$tBur $uZø9tRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# žwÎ) tûÎiüt7çFÏ9 ÞOçlm; Ï%©!$# (#qàÿn=tG÷z$# ÏmŠÏù   Yèdur ZpuH÷quur 5Qöqs)Ïj9 šcqãZÏB÷sムÇÏÍÈ
Dan kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (Q.S. An-Nahl: 64)
Dalam ayat ini dijelaskan bahwasanya Allah menjelaskan bahwa tugas kamu (rasulullah) itu ialah menunjukkan mana yang benar ketika orang berselisih mengenai suatu hal. Dari hal ini tampak jelas sekali bahwa dalam al-quran mempunyai suatu hubungan yang sanngat organis dengan Sunnah nabi, dimana posisi sunnah nabi adalah sebagai penjelas dari al-Quran tersebut. Allah telah memberitakan dalam kitab suci tugas Rasul dalam hubungannya dengan al-Quran, bahwa beliau adalah penerang dan penjelas tentang tujuan-tujuan dan ayat-ayatnya, sebagaiman difirmankan Allah :

ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ ̍ç/9$#ur 3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍköŽs9Î) öNßg¯=yès9ur šcr㍩3xÿtGtƒ ÇÍÍÈ
Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka[5]dan supaya mereka memikirkan, (Q.S. An-Nahl: 44)
Dalam al-quran disebutkan bahwasanya Allah juga mewajibkan manusia menerima keputusan nabi dari segala perselisihan :
Ÿxsù y7În/uur Ÿw šcqãYÏB÷sム4Ó®Lym x8qßJÅj3ysム$yJŠÏù tyfx© óOßgoY÷t/ §NèO Ÿw (#rßÅgs þÎû öNÎhÅ¡àÿRr& %[`tym $£JÏiB |MøŠŸÒs% (#qßJÏk=|¡çur $VJŠÎ=ó¡n@ ÇÏÎÈ
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.(Q.S. An-Nisa : 65).

3.    Aplikasi adanya  hubungan yang organis antara teks al-Quran dan Sunnah

D.    Simpulan
·      Mustafa Al-Siba’i adalah tokoh muslim yang dilahirkan di kota Homs, salah satu dari kota yang ada di negeri Syiria, pada tahun 1915 M, bertepatan dengan tahun 1333 H.
·      Mustafa Al-Siba’i mengungkap adanya hubungan yang organis antara al-Qur’an dan sunnah karena dalam al-Qur’an sendiri dengan jelas memerintahkan Nabi (sebagi sumber Sunnah)  untuk menjelaskan al-Qur’an.
·       


E.     Penutup





Daftar Pustaka

M. Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah, Jakarta: Prenada Media, 2003,
Mustafa Al-Siba’i, Sunnah Dan Perananannya Dalam Penetapan Hukum Islam Sebuah Pembelaan Kaum Sunni (Terj. Nurcholish Madjid), jakarta: Pustaka Firdaus, 1991,
.



[1] Dikutip dari Qawa’id al-tahdits, Hlm. 35
[2] Ungkapan Nurcholish Madjid Dalam pengantarnya pada buku terjemahannya karya Musthofa Al-Siba’i.
[3] M. Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah, Jakarta: Prenada Media, 2003, hal.16-21
[4] Mustafa Al-Siba’i, Sunnah Dan Perananannya Dalam Penetapan Hukum Islam Sebuah Pembelaan Kaum Sunni (Terj. Nurcholish Madjid), jakarta: Pustaka Firdaus, 1991, hal. 3
[5] Yakni: perintah-perintah, larangan-larangan, aturan dan lain-lain yang terdapat dalam Al Quran.