SUBSTANSI HARTA
STUDI ATAS APOLOGI PEMIKIRAN
PROF. DR. SAID RAMADHAN
AL-BOUTI
A. Latar Belakang
Harta adalah kekayaan dari
beberapa anugerah dan kenikmatan yang Allah swt berikan kepada hamba-hamba-Nya.
Dia tidak mengkhususkan kepada hamba yang iman atau kafir. Oleh karenanya,
tidak bisa menjadi standar dan barometer utama bahwa keimanan dan ketaatan
seorang hamba Allah swt, terlebih orang yang dicintai Allah swt, dengan adanya
gemerlang harta dan kemilau jabatan pangkat. Namun yang menjadi esensi utama
keimanan adalah tingkat amal seorang hamba itu sendiri.
Banyak beberapa perspektif
dan paradigma dalam penentuan definisi dan klasfikasi harta benda. Banyak
sekali beberapa sarjana dan para pemikir dari kalangan disiplin ilmu apapun. Di
antaranya adalah sarjana ekonom, sosial, dan agamawan yang tentunya dengan
perspektif dan tinjauan yang berbeda pula. Ironisnya adalah seakan sudah
menjadi kesepakatan umum untuk tidak terlalu mempersoal esensi dan substansial
harta benda sendiri.
Adalah Dr. Said Ramadhan
al-Bouti yang juga mendekati definisi harta dengan penelitian dan analisa yang
cermat, teliti, dan seksama. Beliau berusaha mengombinasikan pemikiran sarjana
ekonomi, melihat latar budaya dan setting sosial, serta mengumpulkan pemikiran
dasar Islam dengan dominasi teosofinya. Tentunya sangat menarik kajian yang
dilakukan beliau dalam hal ini, sebab bagaimanapun juga syariat Islam bagi
masyarakat sekuler, tidak berhak untuk berintervensi dalam kaitan harta benda
dan ekonomi. Oleh sebab itu, adalah hal yang menyebabkan pro-kontra dalam
penentuan definisi harta itu. Untuk lebih jelasnya, mengenai bagaimana
pemikiran Dr. Said Ramadhan mengenai substansi dan esensi harta tersebut,
berikut pemakalah uraikan dalam rumusan masalah berikut.
B. Rumusan Masalah
Ada dua permasalahan yang pemakalah
sampaikan, yaitu mengenai:
1) Bagaimana substansi harta
dalam perspektif Dr. Said Ramadhan al-Bouti?
2) Apa perbedaan pemikiran Dr.
Said Ramadhan dengan sarjana ekonomi umum?
C. Pembahasan
Ada dua pembahasan mengenai permasalahan
di atas, yaitu tentang substansi arti harta menurut Syekh Said Ramadhan dan
perbedaannya dengan pemikiran sarjana muslim lainnya, sebagaimana berikut.
1. Substansi Harta dalam Perspektif Dr. Said Ramadhan al-Bouti
Dr. Said Ramadhan al-Bouti menjelaskan tentang defines harta dalam
kitabnya, Qodhoya Fiqhiyyah Mu’ashiroh, bahwa:[1]
“Kata harta –menurut mayoritas ahli fikih- itu
mencakup kemanfaatan substansi dan hasilnya ini. Dan sudah jelas bahwa mata uang (yaitu emas perak dan sesuatu yang
bernilai dalam pasar konsumen) itu tidak dimaksudkan dzatiyahnya dan manfaat
tidak bisa terealisasi dari substansinya. Namun itu hanyalah standar penyingkap
kadar kesetaraan dalam barter kemanfaatan.
Jadi,
setiap kemanfaatan substansional disebut harta, namun harta itu belum tentu
mempunyai kemanfaatan substansional. Sebab mata uang dan uang kertas adalah
harta padahal itu tidak menyimpan kemanfaatan substansional.
Hanya
saja, meskipun secara linguistik arti harta itu mencakup segala sesuatu yang
bisa dimanfaatkan secara wajar, namun syariat Islam tidak memberikan kata harta
untuk makna yang luas ini. Tapi, syariat mengeluarkan dari arti harta, dan
kadang dari arti hakikat kemanfaatan pula, segala sesuatu yang dicenderungi
nafsu dan diingini hawa. Lompatan di atas konsekuensi tanggung jawab yang Allah
posisikan manusia di atasnya dalam dunia ini.
Maka,
bangkai, babi, darah, arak dan permainan yang merata di atasnya penyebab
keharaman serta beberapa benda najis itu
tidak masuk dalam yang disebut harta secara syara’. Sebab cara memanfaatkannya
tidak dianggap dalam syariat Islam. Dan melihat bahwa Islam itu mendidik
manusia dari awal perjalanan untuk kiat mendulang rejekinya dengan dorongan
tanggung jawab, bukan faktor senang atau rakus diri, maka sesungguhnya segala
sesuatu yang tidak sesuai dengan peraturan kemaslahatan secara syari’at yang
ada jenjang prioritasnya, itu tidak dianggap meskipun nafsu mengganggap lezat
dan melihatnya baik lagi bermanfaat. Dan oleh karenanya, sesuatu itu harus
gugur dari sifat harta dalam hukum pembuat syariat, Allah swt.
Dan konsekuensi hal itu adalah bahwa benda-benda semacam ini, atau
bahkan kadang-kadang non material juga, itu tidak pantas sebagai pusat dagang
dan prinsip mencari rejeki. Dan transaksi yang bergantung padanya tidak bisa
bersifat halal atau sahih.”
2. Perbedaan Pemikiran Dr. Said Ramadhan Dengan Sarjana Ekonomi Umum
Dari beberapa penjelasan dan keterangan di atas
menunjukkan ada perbedaan-perbedaan pemikiran antara Syekh Said Ramadhan
al-Bouti dengan beberapa pemikir atau sarjana ekonom yang didominasi lulusan
Barat dan berbasis sekuler, matrealis, dan modernis. Hal ini tampak dalam
beberapa hal berikut ini:
a) Kata harta dalam syara’ bersifat lebih khusus ketimbang bahasa
Telah beliau sebutkan perbedaan
makna bahasa dan makna syara’ tentang harta. Jika secara etimologi harta
bersifat umum. Asal ada kemanfaatan yang layak untuk ditukarkan tanpa memandang
hukum Allah swt dan peraturan Nabi saw ataupun tidak masuk sama sekali. Berbeda
dengan kata harta secara arti terminologi.
Sebagaimana yang disebutkan
oleh Imam Suyuti dalam kitabnya, al-Asybah wa an-Nadzoir sebagaimana berikut
ini:[2]
أما المال فقال الشافعي رضي
الله عنه : لا يقع اسم مال إلا على ماله قيمة يباع بها و تلزم متلفه و إن قلت و
مالا يطرحه الناس مثل الفلس و ما أشبه ذلك انتهى وأما المتمول : فذكر الإمام له في
باب اللقطة ضابطين، أحدهما : أن كل ما يقدر له أثر في النفع فهو متمول و كل مالا
يظهر له أثر في الانتفاع فهو لقلته خارج عما يتمول، الثاني : أن المتمول هو الذي
يعرض له قيمة عند غلاء الأسعار
“Adapun
harta, maka asy-Syafii berkata: yaitu yang tidak disebutkan kata harta kecuali
atas sesuatu yang memiliki nilai jual dan bagi perusaknya wajib mengganti rugi
sekalipun sedikit dan sesuatu yang tidak dibuang manusia, misalnya uang receh
dan lainnya, selesai. Adapun mutamawwal, maka Imam Haromain telah
menyebutkannya dalam bab Luqothoh dengan dua definisi, pertama sesungguhnya
setiap sesuatu yang mampu berbekas dalam manfaat itu disebut mutamawwal dan
setiap sesuatu yang tidak tampak nilainya ketika harga tinggi.”
Jelas sudah dari pembagian di
atas, mengenai perbedaan mal dan mutamawwal.
b) Harta harus bersifat syar’i
Menurut Dr. Said Ramadhan,
tidak ada sesuatu yang bernilai jual itu disebut harta menurut Islam kecuali
sudah mendapatkan legitimitasi dari Syara’ sendiri. Hal ini diperkuatkan dengan
firman Allah swt:
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan
harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan
(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)
dosa, Padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqoroh: 188)
Ayat ini dengan jelas
menggambarkan bagaimana Tuhan tidak rela apabila ada transaksi yang tidak
sesuai dengan peraturan-Nya, hal ini menunjukkan bahwa tidak ada nama harta
yang dianggap-Nya melainkan harus tunduk pula dibawah bimbingan dan
perintah-Nya.
c) Harta bukan maqosid
Inilah yang membuat beda
pemikiran Dr. Said Ramadhan dengan sarjana dan pemikir lainnya. Baginya, harta
bukanlah tujuan pasti yang akan diambil seseorang yang hidup di dunia ini. Ia
hanya ibarat setetes embun yang dikonsumsi seseoran di waktu pagi untuk
menyambung kehidupannya guna meneruskan hayat di siang, sore, hingga
bertahan di kegelapan malam kelak.
Begitu juga dengan dunia dan
harta benda di mata Syekh Said, nuansa tasawwuf beliau tampak jelas
dalam penyifatannya. Dan dalam realitas kehidupan beliau, tidak menunjukkan
sama sekali akan kehidupan yang serba kecukupan bahkan bermewahan glamaour,
tidak.[3]
Bahkan sebaliknya, beliau sangat sederhana dan merasa berkecukupan dengan
kehidupannya itu.
Inilah maksud beliau bahwa
kehidupan dunia tak lain sebagai sarana prasarana saja, tidak lebih.[4]
Oleh karena itu, tidak layak bagi seorang muslim untuk berprinsip matrealisme,
apalagi sampai berpikir sekulerisme. Na’udzu billah min dzalik.
Daftar Pustaka
Jalaluddin as-Suyuti, Al-Asybah wa an-Nadzoir, Maktabah:
Syamilah versi 3, 45.
Said
Ramadhan al-Bouti, Qodhoya Fiqhiyyah Mu’ashiroh, Darul Farobi, Damaskus,
2001.
Turmudzi, Sunan, Maktabah: Syamilah versi 3, 45.
[1]
Said Ramadhan al-Bouti, Qodhoya Fiqhiyyah Mu’ashiroh, Darul Farobi,
Damaskus, 2001, hlm. 31.
[3] Sebagaimana yang dikatakan muridnya, Ust. Sa’duddin Nasikh, dosen pengampu
TH Khusus mata kuliah Qodhoya Fiqhiyyah Mu’ashiroh, pada hari Senin.
[4] Hal ini tampak dalam isyarat sabda Nabi saw: dan sesungguhnya dunia adalah
hehijauan yang manis. Sebagai lambang manusia harus bersikap waspada. HR.
Turmudzi, Sunan, Maktabah: Syamilah versi 3, 45, hadis ke-2387.