PRINSIP-PRINSIP
DASAR BERINTERAKSI DENGAN SUNNAH
PERSPEKTIF YUSUF
AL-QARDHAWI
A.
Pendahuluan
Hampir semua orang Islam sepakat akan pentingnya peranan hadis dalam berbagai
displin keilmuan Islam seperti tafsir, fiqh, teologi, akhlak dan lain
sebagainya. Sebab secara struktural hadis merupakan sumber ajaran Islam yang
kedua setelah al-Qur’an, dan secara fungsional hadis dapat berfungsi sebagai
penjelas (bayan) terhadap ayat-ayat yang mujmal atau global. Hal itu dikuat
dengan berbagai pernyataan yang gamblang dalam al-Qur’an itu sendiri yang
menunjukkan pentingnya merujuk kepada hadis Nabi.
Akan tetapi ternyata secara historis,
perjalanan hadis tidak sama dengan perjalanan
al-Qur’an. Jika al-Qur’an sejak
awalnya sudah diadakan pencatatan secar resmi oleh para percatat wahyu atas
petunjuk dari Nabi, dan tidak ada tenggang waktu antara turunnya wahyu dengan penulisannya,
maka tidak demikian halnya dengan hadis Nabi. Jika al-Qur’an secara normatif telah ada garansi dari Allah,
dan tidak ada keraguan akan otentitasnya, maka tidak demikian halnya dengan
hadis Nabi, yang mendapat perlakuan berbeda dari al-Qur’an. Bahkan dari
kitab-kitab hadis, terdapat adanya pelarangan penulidan hadis. Hal itu tentunya
mempunyai implikasi-implikasi tersendiri bagi transformasi hadis, terutama pada
zaman Nabi.
Yusuf Qardhawi merupakan seorang pemikir
Islam yang sangat yakin akan kebenaran cara pemikiran Islam yang moderat (al-washatiyah
al-Islamiyah). Sebagai ulama yang memilki apresiasi tinggi terhadap
al-Qur’an dan sunnah Nabi, Qardhawi sangat fleksibel dalam memandang ajaran
Islam. Nemun pada saat yang sama, ia juga sangat kuat dalam mempertahankan
pendapat-pendapatnya yang digali dari al-Qur’an dan hadis.
B.
Permasalahan
Dari pendahuluan di atas, maka
timbullah permasalahan sebagai berikut ini:
1.
Siapakah Yusuf al-Qardhawi
dan bagaimana pemikirannya?
2.
Bagaimana sikap Yusuf al-Qardhawi terhadap hadis?
3.
Bagaimana prinsip-prinsip
dasar berinteraksi dengan sunnah menurut Yusuf al-Qardhawi?
C.
Pembahasan
1.
Biografi Yusuf
al-Qardhawi dan pemikirannya
Yusuf al-Qardhawi lahir di desa
Shaft Turab, daerah Mahallah al-Kubra, Mesir, pada tanggal 9 September 1926.
Pada usia 10 tahun dia sudah hafal al-Qur’an. Pendidikan formalnya ditempuh di
al-Azhar Mesir. Keahliannya adalah dalam bidang Aqidah, Tafsir dan Hadis. Ia
menepuh studi di Universitas al-Azhar Fakultas Ushuluddin. Diantara
karya-karyanya adalah al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber IPTEK dan
Peradaban, Fiqh Prioritas sebuah kajian baru berdasarkan al-Qur’an, al-Sunnah
dan lain-lain.
Al-Qardhawi termotivasi untuk
menelurkan sebuah karya yang memuat prinsip-prinsip dasar dan
karakteristik-karakteristik serta aturan-aturan umum yang esensial untuk
memahami as-Sunnah dengan yang tepat. Karya tersebut diberi judul “
Kaifa
Nata’amal ma’a al-Sunnah an-Nabawiyah Ma’alim wa Dhawabith”. Apa yang menjadi harapannya dalam buku
ini adalah”maksimalisasi” pemahaman atas as-Sunnah sebagai tandingan atas
minimalisasi pemahaman yang dilakukan oleh sebagian orang ketika hanya berkutat
pada pemahaman secara
harfiyah, sebuah pemahaman yang hanya menyentuh
aspek lahiriyyahnya semaat tanpa menyentuh ruh terdalamnya. Namun, bukan
berarti maksimilasasi ini melampui batasannya sebagaimana yang diistilahkan
al-Qardhawi dengan “memasuki rumah tanpa melalui pintunya”. Artinya al-Qardhawi
mengambil sikap tengah dalam upaay memahami as-Sunnah.
2.
Sikap Yusuf
al-Qardhawi terhadap hadis
Di antara para pemikir kontemporer,
al-Qardhawi memberikan penjelasanm yang luas tentang bagaimana pemikirannya
tentang hadis. Menurut al-Qardhawi, sunnah Nabi mempunyai 3 karakteristik:
a)
Komprehensif (manhaj
syumul), artinya mencakup semua kehidupan manusia, baik aspek vertikal,
horizontal maupun kedalamannya.
b)
Seimbang (manhaj
mutawazun), artuinya keseimbangan antara rohani dan jasmani, akal dan hati,
dunia dan akhirat, idealitas dan realitas, cita-cita dan realita, teori dan
aplikasi, yang gaib dan yang tampak, kebebasan dan tanggung jawab, invidu dan
kelompok, sikap mengikuti contoh Nabi(ittiba’) dan mengada-ada(ibtida’).
c)
Memudahkan (
manhaj
muyassar), artinya adalah ringan, mudah dan toleran.
Ketiga karakteristik ini yang akan mendatangkan
pemahaman yang utuh terhadap suatu hadis.
Atas dasar inilah al-Qardhawi
menetapkan tiga hal juga yang harus dihindari dalam berinteraksi dengan sunnah,
yaitu:
a)
Penyimpangan kaum ekstrim
b)
Manipulasi orang-orang
sesat (Intihal al-Mubthilin), yaitu pemalsuan terhadap ajaran-ajaran
Islam dengan membuat berbagai macam bid’ah yang jelas bertentangan dengan
akidah dan syari’ah.
c)
Penafsiran orang-orang
bodoh (
ta’wil al-jahilin). Oleh sebab itu pemahaman yang tepat terhadap
sunnah adalah mengambil sikap moderat (
wasathiyah), yaitu tidak berlebihan atau ekstrim, tidak
menjadi kelompok sesat dan tidak menjadi kelompok yang bodoh.
3.
Prinsip-prinsip
dasar berinteraksi dengan sunnah menurut Yusuf al-Qardhawi
Agar terhindar dari manipulasi
orang-orang bathil, penyimpangan orang-orang ekstrim dan penakwilan orang-orang
bodoh, siapapun yang berinteraksi dengan sunnah Nabi seharusnya memahami
beberapa hal yang merupakan prinsip-prinsip dasar dalam masalah ini.
Pertama, meneliti dengan seksama keshahihan sunnah
sesuai dengan kaidah-kaidah yang telah
ditetapkan para imam hadis, yang meliputi sanad dan matan, baik sunnah yang
berbentuk ucapan, perbuatan maupun persetujuan. Tidak cukup sampai disitu, ia
harus merujuk pada pendapat pakar di bidang ini, yaitu para ahli hadis yang
telah menghabiskan usianya dalam mencari, mengkaji dan menyeleksi hadis yang
shohih dari yang lemah, hadis yang dapat diterima (
maqbul) dari yang
ditolak (
mardud):
“Dan tidak ada yang dapat memberi
keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh yang Maha Mengetahui(ahlinya).”
QS. Al-Fathir:14
Para ulama telah merumuskan kerangka
besar bagi ilmu hadis, suatu cabang ilmu
yang berakar kokoh dan mendasar. Dalam kaitannya dengan hadis, ilmu ini
kedudukannya seperti ilmu ushul fiqh bagi fiqh. Dalam kenyataannya, ilmu ini
merupakan ilmu himpunan dari sekumpulan ilmu yang jumlahnya, menurut Ibnu
Shalah, mencapai 65 jenis ilmu. As-Suyuti dalam Tadrib ar-Rawi ‘ala Taqrib
an-Nawawi bahkan menyebutkan angka 93.
Kedua, memahami
teks Nabi dengan baik, seiring dengan petunjuk kebahasaan, konteks hadis, latar
belakang pengucapan hadis oleh Nabi(sebab wurud), konteks teks-teks
al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi yang lain, dan dalam rangka prinsip-prinsip
umum, serta tujuan-tujuan universal Islam. Harus dibedakan pula antara hadis
yang diucapkan dalam kerangka menyampaikan misi kerasulan dan yang bukan
demikian. Dengan ungkapan lain, antara sunnah yang mengandung muatan hukum (tasyri’)
dan yang tidak. Demikian pula hadis-hadis tasyri’ yang bersifat umum
dan permanen (dawam) dan yang bersifat khusus atau temporal (ta’qit).
Sebab, mencampurkan antara dua hal di atas merupakan kekeliruan yang paling
parah dalam memahami sunnah.
Ketiga, memastikan
teks hadis tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat, baik al-Qur’an atau
hadis yang jumlah rawinya banyak, atau lebih shahih kualitasnya, atau lebih
sesuai dengan prinsip-prinsip dasar, atau lebih cocok dengan maksud-maksud
penetapan hukum (hikmah at-tasyri’), dan denagn tujuan-tujuan umum
syari’at yang bersifat pasti (qath’) karena disimpulkan bukan hanya dari
satu atau dua hadis, tetapi diambil dari beberapa hadis dan ketentuan.
D.
Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut
ini:
·
Karakteristik sunnah Nabi
yaitu: Komprehensif (manhaj syumul), Seimbang (manhaj mutawazun) dan
Memudahkan (manhaj muyassar).
·
Hal-hal yang harus
dihindari dalam berinteraksi dengan sunnah:
-
Penyimpangan kaum ekstrim
-
Manipulasi orang-orang
sesat (Intihal al-Mubthilin).
-
Penafsiran orang-orang
bodoh (ta’wil al-jahilin).
·
Prinsip-prinsip dasar
berinteraksi dengan sunnah menurut al-Qardawi ada 3 yaitu:
-
Meneliti dengan seksama
keshahihan sunnah sesuai dengan
kaidah-kaidah yang telah ditetapkan para imam hadis.
-
Memahami teks
Nabi dengan baik.
-
Memastikan teks
hadis tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat.
Daftar Pustaka