Rabu, 23 November 2011

Al-Qur'an dalam Perspektif Toshihiko Izutsu

  
AL-QURAN DALAM PERSPEKTIF TOSHIHIKO IZUTSU

A. Pendahuluan
NNNNNNNNNNnnNnNNnama Thosihiko Izutsu mungkin masih asing di kalangan masyarakat awam. Namun  Bagi ahli akademik dan pengkaji pengajian Islam dunia, profesor Izutsu adalah pendakwah dan ilmuwan yang mengembangkan pemahaman tentang Islam. Ilmuwan asal Jepang ini merupakan salah seorang outsider yang mampu menguasai lebih dari 30 bahasa milik bangsa-bangsa bertamadun utama dunia termasuk bahasa klasik. Dia juga berhasil menerjemahkan al-Quran ke dalam bahasa Jepang pada tahun 1958. .
Dengan penekanan pada aspek metodologi: yakni analisis semantik atas hubungan personal antara Tuhan dan manusia, Toshihiko Izutsu memaparkan segitiga relasi Tuhan dan manusia dalam al-Quran yaitu relasi ontologis, relasi komunikatif dan relasi etis. Di samping itu, ia juga melakukan analisis tentang makna dasar dan makna relasional yang berkaitan dengan segitiga relasi Tuhan dan manusia. Penulis dalam makalah ini juga akan mengetengahkan pandangan Toshihiko Izutsu tentang pemikiran dan pandangannnya tentang al-Quran serta metode penafsiran al-Quran menurutnya dan juga aplikasi ayatnya.,

B.  Permasalahan
Berpijak dari latar belakang di atas, penulis dapat merumuskan beberapa permasalahan. Di antaranya:
  1. 1.      Siapakah Toshihiko Izutsu itu?
  2. 2.      Bagaimana pemikiran dari toshihiko izutsu?
  3. 3.      Bagaimana metodologi penafsiran Thosihiko Izutsu?
  4. 4.      Bagimana cara kita menyikapinya?


C. Pembahasan
  1. 1.      Seputar Toshihiko Izutsu



Toshihiko Izutsu (4 mei 1914-1993 M) dilahirkan dari keluarga kaya di Jepang. Ia adalah profesor universitas dan penulis banyak buku tentang keislaman dan agama-agama lain. Dia mengajar di Institute of Cultural and Linguistic studies pada Keio University di Tokyo, the Imperial Iranian Academy of Philosophy di Tehran, and universitas Mc. Gill di Montreal. Pendekatannya dalam mengkaji agama adalah linguistik dan dia menggunakan ilmu humaniora/sosial lebih ekstensive dari pada pendekatan yang berdasarkan pada keimanan. Dia dilahirkan dalam keluarga kaya di jepang. Sejak usia dini dia sudah akrab dengan koan dan meditasi zen.
 Dia belajar di fakultas ekonomi universitas Kairo tetapi dipindahkan (ada yang mengatakan pindah sendiri) ke Departemen Sastra Inggris atas instruksi dari Prof. Junzaburo Nishiwaki. Dia menjadi assisten peneliti pada tahun1937, kemudian lulus dengan meraih gelar B.A. Atas saran dari Shumei Okawa. Dia belajar tentang Islam di East Asiatic Economic Investigation Bureau. Pada tahun 1958, dia menyelesaikan terjemahan Qurannya yang pertama kali dari bahasa arab ke bahasa Jepang.[2]
Toshihiko Izutsu adalah Profesor Emeritus di Universitas Keio di Jepang dan otoritas yang luar biasa di sekolah kebijaksanaan metafisis dan filosofis Sufisme Islam, Hindu Advaita Vedanta, Mahayana Buddhisme (khususnya Zen), dan Taoisme Filosofis. Fasih di lebih dari 30 bahasa, termasuk bahasa Arab, Persia, Sansekerta, Pali, Cina, Jepang, Rusia dan Yunani, penelitian yang bergerak di tempat-tempat seperti Timur Tengah (terutama Iran), India, Eropa, Amerika Utara, dan Asia dilakukan dengan pandangan untuk mengembangkan pendekatan meta-filosofis untuk perbandingan agama berdasarkan studi linguistik ketat teks-teks metafisik tradisional.
Terjemahannya masih renownwd untuk akurasi linguistiknya dan banyak digunakan untuk tugas-tugas akademik. Dia sangat berbakat dalam belajar bahasa asing dan dia sanggup menyelesaikan membaca al-Quran dalam satu bulan setelah ia belajar bahasa Arab.
Izutsu seringkali menyatakan keyakinannya bahwa harmoni bisa dipupuk antara masyarakat dengan menunjukkan bahwa banyak kepercayaan dengan mana suatu komunitas yang diidentifikasi sendiri dapat ditemukan, meskipun mungkin bertopeng dalam bentuk yang berbeda, dalam metafisika komunitas lain, sangat berbeda.
Karya-karyanya yang paling penting termasuk tasawuf dan Taoisme: Sebuah Studi Perbandingan Konsep Kunci Filsafat (1983) dan diterbitkan anumerta koleksi esai berjudul Penciptaan dan Orde Abadi of Things (1994).
  1. 2.      Pemahaman Toshihiko Izutsu terhadap al-Quran

a.       Semantik al-Quran
Kata semantik berasal dari bahasa Yunani sema yang artinya tanda atau lambang, juga dapat ditemukan dalam kata semaphore. Semantik merupakan cabang linguistik yang membahas aspek-aspek makna bahasa yang mencakup deskripsi makna kata dan makna kalimat. Dalam bahasa Inggris dikenal istilah semantics dan bahasa Arab dikenal istilah ilm ad-dilalah. [3]
Izutsu mengungkapkan bahwa sejatinya ajaran al-Quran itu ditakdirkan berkembang, tidak hanya sebagai suatu agama belaka, tapi juga suatu kebudayaan dan peradaban, maka kita perlu mengakuinya sebagai suatu yang teramat agung dalam lapangan etika-sosial, yang berisikan konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari dari orang banyak itu di dalam masyarakat. Secara khusus, pada masa Madinah, al-Quran telah banyak bicara tentang kehidupan kemasyarakatan. Namun, aspek etika al-Quran ini belum banyak dikaji secara sistematik pada masa sekarang.[4]
Izutsu menggunakan metode analisis semantik atau konseptual terhadap bahan-bahan yang disediakan oleh kosa kata al-Quran yang berhubungan dengan beberapa persoalan yang paling kongkrit dan melimpah yang dimunculkan oleh bahasa al-Quran.Yang dimaksud semantik dalam kajian izutsu disini adalah kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual weltanschauung atau pandangan dunia masyarakat yang menggunakan bahasa itu , tidak hanya sebagai alat bicara dan berfikir , tetapi lebih penting lagi , pengkonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya.[5]
Analisis semantik ia gunakan dalam menelisik kosa kata al-Quran yang terkait dengan beberapa persoalan yang kongkrit. Maksud analisis semantik di sini adalah kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa yang mengantarkan pada pengertian konseptual weltanschauung (pandangan dunia) masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut. Sehingga, bahasa tidak hanya sebagai alat berkomunikasi dan berfikir, tetapi lebih penting lagi sebagai pengonsep dan penafsir dunia yang melingkupinya.
Terminus semantik sendiri secara semantis banyak memiliki arti. Ia berarti aspek tertentu dalam objek penelitian ilmu bahasa itu sendiri, seperti ketika orang mengatakan semantik kota kata, demikian pula teori dalam penelitian bahasa. Yang paling banyak dianut dalam ilmu bahasa adalah semantik dalam pengertian kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual dari masyarakat pengguna bahasa tersebut. pandangan ini tidak saja sebagai alat berbicara dan berpikir, tetapi lebih penting lagi, pengonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya.[6]
Sekarang mudah sekali untuk melihat bahwa kata al-Quran dalam frasa semantik al-Quran harus dipahami hanya dalam pengertian Weltanschauung al-Quran atau pandangan dunia Qurani yaitu visi Qurani tentang alam semesta. Analisis semantik ini akan membentuk ontologi wujud dan eksistensi pada tingkat kongkret sebagaimana tercermin pada ayat-ayat al-Quran. Tujuannya adalah memunculkan tipe ontologi hidup yang dinamik dari al-Quran dengan penelaah analisis dan metodologis terhadap konsep-konsep pokok.[7]
b.      Semantik Kufr dalam pandangan Thosihiko Itsuzu
Sebenarnya, kufr tidak hanya merupakan istilah yang paling komprehensif untuk semua nilai etika religius yang negatif yang dikenal demikian di dalam al-Quran, tetapi kufr berfungsi sebagai suatu yang paling inti dari keseluruhan sistem sifat negatif. Tampaknya, implikasinya adalah bahwa kita memahami sifat dasar kufr yang sesungguhnya hanya jika kita memahami sifat dasar unsur yang membentuk keseluruhan sistem itu sendiri. [8] Kata kunci yang akan dibicarakan yaitu: Fasiq, Fajir dan Zalim.
Fasiq
Fasiq sebaga sinonim dari kafir. Fasiq mempunyai banyak kesamaan dalam struktur semantik dengan kafir, sedemikian banyaknya sehingga dalam banyak kasus terbukti sangat sulit untuk membedakan antara keduanya. Bagaimanapun juga, dalam tahapan analisis ini kita dapat mengatakatan bahwa fasiq merupakan sinonim dari kafir. Demikianlah, istilah ini dihubungkan dengan Abu Amir, seorang pertapa terkenal pada masa jahiliyyah dan berhasil menjadi rahib; dan orang yang sangat berpengaruh di Madinah pada masa Hijrah, yang sampai akhir tetap bersikeras menolak untuk mempercayai Tuhan Muhammad walaupun kebanyakan sukunya menerima keyakinan Islam, dan bahkan secara bersungguh-sungguh meninggalkan mereka dan menyebrang ke Mekah bersama dengan beberapa orang yang masih mempercayainya. Dengan kejadian ini, dikatakan bahwa Muhammad telah mengatakan, “selanjutnya jangan sebut dia rahib”, tetapi sebut dia fasiq, Muhammad telah menggunakan kata kafir sebagai ganti fasiq.
     Pandangan yang paling umum diterima adalah bahwa fisq berarti khuruj ‘an at-tha’at, yaitu tidak mematuhi perintah Tuhan. Dalam hal ini, maka fasiq merupakan istilah yang aplikasinya lebih luas daripada kafir, siapapun yang tidak mentaati Tuhan dalam pengertian apapun dapat disebut fasiq, sementara kafir mempunyai pengertian yang jauh lebih terbatas. [9]
Fajr
     Tidak seperti fasiq, kata fajir (fajr, fujur) selanjutnya tidak menjadi istilah teknik dalam teologi Islam. Dalam pengertian yang khusus ini, istilah ini tidak punya sejarah pasca-Quranik. Tetapi tentu saja sebagai istilah moral biasa, non-teknik, dalam literatur pasca-Quranik istilah ini terus mempunyai peran penting yang sama sebagaimana dalam masa Jahiliyyah. Dan kadang-kadang dalam teologi, kita menemukan kata itu digunakan untuk menunjukkan kategori negatif dalam konsep mu’min, orang yang percaya, sebagai lawan dari kategori positif yang disebutkan dengan kata barr.
     Sebenarnya Quran tidak banyak memberikan informasi mengenai kata ini kecuali mungkin bahwa fajir itu secara kasar merupakan sinonim dari kafir. Dikatakan bahwa makna yang mendasari adalah menyimpang. Oleh karena itu, kata ini secara metaforik berarti meninggalkan jalan yang benar dan kemudian melakukan perilaku yang immoral.
Zalim
     Kata zalim, sebagaimana seringkali kita lihat, umumnya diterjemahkan dalam Bahasa Inggris sebagai wrong doer ‘orang yang melakukan pekerjaan salah’ atau evil doer ‘orang yang melakukan perbuatan buruk’ dan bentuk nominal yang berkorespondensi dengan zulm dapat berupa wrong ‘salah’, evil ‘buruk’, isjustice ‘tidak adil’ dan tyranny ‘kekejaman’.
Arti utama dari zlm, dalam pemikiran kebanyakan leksikografer authoritatif adalah meletakkan di tempat yang salah. Dalam lingkup etika, utamanya berarti bertindak sedemikian rupa yang melampaui batas yang benar serta melanggar hak orang lain. Secara singkat dan umum dibicarakan, zulm berhubungan dengan ketidakadilan dalam pengertian melewati batas yang dimiliki seseorang dan melakukan apa yang tidak menjadi haknya.[10]
c.       Makna Dasar dan Makna Relasional
Jika kita mengambil al-Quran dan menelaah istilah-istilah kunci di dalamnya dari sudut pandang kita, maka kita akan menemukan dua hal, yang satu begitu nyata dan sering begitu dangkal dan biasa untuk dijelaskan, dan yang lainnya mungkin sepintas kilas tidak begitu jelas. Sisi nyata persoalan tersebut adalah bahwa masing-masing kata individual, diambil secara terpisah memiliki makna dasar atau kandungan kontekstualnya sendiri yang akan melekat pada kata itu meskipun kata itu kita ambil di luar konteks al-Quran.
Kata kitab misalnya, makna dasarnya baik yang ditemukan dalam al-Quran maupun di luar al-Quran sama. Kata ini sepanjang dirasakan secara aktual oleh masyarakat penuturnya menjadi satu kata, mempertahankan makna fundamentalnya – dalam hal ini, makna yang sangat umum dan tidak spesifik, yaitu “kitab -, dimana pun ditemukan, baik digunakan sebagai istilah kunci dalam sistem konsep yang ada atau lebih umum lagi di luar sistem khusus tersebut. Kandungan unsur semantik ini tetap ada pada kata itu dimana pun ia diletakkan dan bagaimanapun ia digunakan, inilah yang disebut dengan makna dasar kata itu.[11] 
d.      Kosakata dan Weltanschauung
Sekarang masih perlu dijelaskan secara lebih mendetail apa yang dimaksud dengan weltanschauung semantik itu, bagaimana sifat-sifat dasarnya dan dasar-dasar apa yang bisa kita tawarkan untuk mempertahankan bentuk-bentuk filosofis sebuah ontologi dinamis yang sepintas merujuk pada bentuk-bentuk yang dibuat pada masa awal.
Dalam pandangan ini, kata-kata dalam bentuk bahasa adalah suatu sistem jaringan yang rapat. Pola utama sistem tersebut ditentukan oleh sejumlah kata-kata penting tertentu. Perlu dicatat di sini bahwa tidak semua kata-kata dalam suatu kosakata sama nilainya dalam pembentukan struktur dasar konsepsi ontologis yang didasari kosakata tersebut, meskipun kata-kata itu mungkin tampak penting dari sudut pandang lain.
e.       Hasan menurut Toshiko Izutsu Sejarah Istilah-Istilah Kunci Al-Quran
Kata hasan dan derivasinya menurut Izutsu di dalam al-Qur’an digunakan terhadap perkara religius dan keagamaan. Ia bisa berarti menyenangkan (pleasing), memuaskan (satisfying), indah (beautiful), terpuji (admirable), kebahagiaan (happiness), kemakmuran (prosperity) dan keberuntungan (good luck). Kata ini juga bisa bermakna sikap yang selalu siap membantu orang miskin, tidak cepat marah dan memberi maaf kepada sesama manusia. Namun ada beberapa makna kata ini yang luput dari pemaparan Izutsu, yaitu surga, nikmat dan menang atau mati syahid. Ketiga hal tersebut tergolong ke dalam apa yang disebut Izutsu sebagai Ethico-Religious. Selain itu, terhadap hasan ini, ia tidak menerapkan pendekatan semantik yang telah dirumuskannya.
Dengan penekanan pada aspek metodologis, yakni analisis semantik atas hubungan personal antara Tuhan dan manusia, Toshihiko Izutsu memaparkan segitiga relasi Tuhan dan manusia dalam Al-Quran -- relasi ontologis, relasi komunikatif, dan relasi etis. Di samping itu, ia juga melakukan analisis tentang makna dasar dan makna relasional yang berkaitan dengan segitiga relasi Tuhan dan manusia tersebut. Seluruh materi dalam buku ini adalah pengembangan dari kuliah-kuliah yang disampaikan Prof. Toshihiko Izutsu ketika mengajar di Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, Canada.
  1. 3.      Metode Penafsiran al-Quran Menurut Izutsu

                        Ada berbagai cara bagi seseorang untuk mengetahui arti sebuah kata asing, yang paling sederhana dan paling umum – tapi sayangnya kurang sekali dapat diandalkan – adalah dengan mengatakan dalam bahasa orang itu sendiri dengan kata yang sama artinya. Dalam cara ini, kata kafir dalam bahasa Arab dapat diartikan sama dengan penganut yang salah, zalim sebagai penjahat, dhab sebagai dosa dan lain sebagainya.[12]
                        Dalam al-Quran kita memiliki banyak sekali contoh yang serupa mengenai penggunaan kata yang sama. Dengan mengumpulkannya ke dalam satu tempat, membanding-bandingkannya, memeriksa kata tersebut dengan kata lainnya, maka akan diperoleh definisi kata dengan benda yang asli dari kata Arab ini.[13]
                        Di sini Izutsu menekankan pengkajian terhadap sejarah kata-kata berdasarkan seluruh sistem statis. Tahapan-tahapan sejarah tersebut pada pembentukan awal sejarah kosakata al-Quran adalah: (1) sebelum turunnya al-Quran atau jahiliyyah, (2) masa turunnya al-Quran, (3) setelah turunnya al-Quran, terutama pada periode Abbasiyah. Jadi pada tahap pertama, yakni masa pra-Islam, kita mempunyai tiga sistem kata yang berbeda dengan tiga pandangan dunia yang mendasarinya yang berbeda pula: (1) Kosakata Badwi murni yang mewakili weltanschauung Arab kuno, (2) Kosakata kelompok pedagang yang berlandaskan pada kosakata Badwi, (3) Kosakata Yahudi-Kristen. Ketiga poin tersebut merupakan unsur-unsur penting kosakata Arab pra-Islam.[14] 
                        Sebagaimana dikatakan Izutsu, jika kita kembali kepada persamaan kata kufr = misbeliever atau disbeliever atau unbeliever, kita dapat mengamati langsung esensi perbedaan pada struktur luar itu sendiri. Tidak seperti persamaan kata muruwah = mannes “kejantanan”. Dua paroh dari persamaan kata ini tidak menunjukkan hubungan menurut struktur kata. Kata Arab kafir, merupakan unit struktur yang tidak dapat dianalisis lebih jauh ke dalam unsur-unsur komponen. Tidak dapat dibantah lagi bahwa kategori semantik kata Arab kafir itu sendiri mengandung unsur penting tentang keimanan. Tetapi perlu diingat, ini bukanlah satu-satunya unsur semantik dari kata tersebut dan juga bukan yang asli. 
                        Kata kafir menurut al-Quran merupakan makna sekunder dari orang yang tidak mempercayai Tuhan karena sangat sering terjadi kata tersebut dilawankan dengan kata mukmin yang maknanya orang yang memandang segalanya mutlak benar atau orang yang percaya, dan kafir juga dilawankan dengan muslim yang maknanya orang yang benar-benar menyerahkan dirinya kepada kehendak Tuhan.
  1. 5.      Aplikasi Ayat

Menurut Izutsu, untuk memahami teks-teks al-Quran dapat dilakukan melalui tiga tahap. Tahap pertama adalah dengan memilih istilah-istilah kunci (key word) dari al-Quran sesuai dengan bahasan yang dimaksud. Tahap kedua adalah menentukan makna dasar (basic meaning) dan makna nasabi (relational meaning). Tahap ketiga adalah menyimpulkan dan menyatukan konsep-konsep tersebut dalam satu kesatuan.
Sebagai contoh, pada masa pra-Islam, kata Allah bukannya tidak dikenal pada masa Arab pra-Islam, kata tersebut dikenal secara luas bukan saja oleh bangsa Arab Yahudi dan Nasrani, bahkan masyarakat Arab Badui murni sudah mengenal kata itu sebagai nama Tuhan. Selain nama Allah, bangsa Arab juga menggunakan kata alihah (tuhan atau dewa-dewa). Eksistensi kata Allah masa Arab sebelum turunnya al-Quran setara dengan kata alihah, dewa-dewa yang lain. Setelah Islam datang yang dibawa oleh Nabi Muhammad dengan panduannya berupa al-Quran, Islam tidak merubah kata Allah sebagai nama tuhan. Namun konsep kata Allah yang ada pada masa pra-al-Quran sangat berbeda dengan konsep Allah yang dibawa pada masa al-Quran. Konsep kata Allah yang ada pada pra-Quran berupa nama tuhan yang bersifat politeistik, bangsa Arab menggunakan kata tersebut untuk tuhan mereka yang politeistik. Pandangan seperti ini dirubah sejak Islam datang, kata Allah pada masa turunnya al-Quran menjadi monoteistik, tuhan yang tunggal.[15]
Contoh yang lain yaitu ayat yang menerangkan tentang hasan. Hasan, seperti khayr, kata ini mempunyai cakupan pemakaian yang sangat luas. Hasan adalah kata sifat yang dapat diterapkan pada hampir peristiwa apapun yang dianggap menyenangkan, memuaskan, indah, terpuji. Dan sebagaimana dalam kasus khayr, lingkupnya mencakup kehidupan manusia yang bersifat religius dan bersifat dunia. Contohnya terdapat ayat:
وَمِنْ ثَمَرَاتِ النَّخِيلِ وَالْأَعْنَابِ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَرًا وَرِزْقًا حَسَنًا إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَةً لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ (67) وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ (68) ثُمَّ كُلِي مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ فَاسْلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلًا يَخْرُجُ مِنْ بُطُونِهَا شَرَابٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ فِيهِ شِفَاءٌ لِلنَّاسِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَةً لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (النحل: 67-69)

Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minimuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.
 Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia",
Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang Telah dimudahkan (bagimu). dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan. (QS. an-Nahl: 67-69)
Di sini jelaslah, bahwa kata hasan secara kasar ekuivalen dengan kata enak atau sesuai dengan selera. Dalam contoh berikut, kata yang sama merujuk pada sesuatu yang sama sekali berbeda.
فَتَقَبَّلَهَا رَبُّهَا بِقَبُولٍ حَسَنٍ وَأَنْبَتَهَا نَبَاتًا حَسَنًا وَكَفَّلَهَا زَكَرِيَّا...
Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya... (QS. Ali Imran: 37)
               
                        Haruslah dicatat bahwa dalam ayat ini, hasan tampak dua kali dalam suatu urutan. Yang pertama kata ini berarti penerimaan yang baik yang diterima oleh Maryam di tangan Allah, sementara yang kedua kata hasan menegaskan bahwa Maryam tumbuh sehat dan menjadi wanita yang mulia.
                        Ayat berikut menggunakan kata itu untuk tipe ideal dalam hubungan antara manusia dalam hubungan sosial. Secara lebih konkret, ayat ini memerintahkan kepada manusia akan kewajiban untuk berbicara dengan damai dengan maksud untuk mempertahankan dan mendukung terwujudnya hubungan yang penuh damai di antara mereka.

وَقُلْ لِعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْزَغُ بَيْنَهُمْ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلْإِنْسَانِ عَدُوًّا مُبِينًا (الاسراء: 53)
Dan Katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: "Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia (QS. Al-Isra’: 53).

Hasan juga dapat digunakan untuk pengertian menguntungkan dalam pembicaraan mengenai usaha dan perdagangan. Al-Quran menggunakan kata ini secara figuratif dalam hubungannya dengan perbuatan yang baik. Dengan berbuat baik, manusia memberikan pinjaman yang sangat menguntungkan bagi Allah.
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (البقرة: 245)
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.
                        Janji Allah disebut janji hasan karena menjanjikan banyak kebaikan kepada manusia jika mereka memenuhi kewajibannya dengan penuh keyakinan.[16]

D.  Simpulan
Dari Pembahasan di atas, penulis dapat menyimpulkan:
1.      Toshihiko Izutsu (4 mei 1914-1993 M) dilahirkan dari keluarga kaya di Jepang. Pendekatannya dalam mengkaji agama adalah linguistik dan dia menggunakan ilmu humaniora/sosial lebih ekstensive dari pada pendekatan yang berdasarkan pada keimanan.
2.      Izutsu mengungkapkan bahwa sejatinya ajaran al-Quran itu ditakdirkan berkembang, tidak hanya sebagai suatu agama belaka, tapi juga suatu kebudayaan dan peradaban.
3.      Menurut Izutsu, untuk memahami teks-teks al-Quran dapat dilakukan melalui tiga tahap. Tahap pertama adalah dengan memilih istilah-istilah kunci (key word) dari al-Quran sesuai dengan bahasan yang dimaksud. Tahap kedua adalah menentukan makna dasar (basic meaning) dan makna nasabi (relational meaning). Tahap ketiga adalah menyimpulkan dan menyatukan konsep-konsep tersebut dalam satu kesatuan.
4.      al-Quran dalam frasa semantik al-Quran harus dipahami hanya dalam pengertian Weltanschauung al-Quran atau pandangan dunia Qurani yaitu visi Qurani tentang alam semesta.
5.      Tahapan-tahapan sejarah tersebut pada pembentukan awal sejarah kosakata al-Quran adalah: (1) sebelum turunnya al-Quran atau jahiliyyah, (2) masa turunnya al-Quran, (3) setelah turunnya al-Quran, terutama pada periode Abbasiyah.
6.      Beberapa contoh ayat yang menunjukkan penafsirannya adalah bahasan tentang kufur, hasan dan lain sebagainya.

E.  Penutup
Demikianlah makalah ini kami buat, semoga bisa bermanfaat bagi kita semua. Tentulah masih banyak kekurangannya. Oleh sebab itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan. Cukup sekian dan terima kasih.











           
Daftar Pustaka
Mamluatul Hasanah, 2008, Menyingkap Tabir Dua Kalimat Syahadat Perspektif Semantik Tindak Tutur, UIN Malang Press: Malang              
M. Nur Kholis Setiawan, Akar-akar Pemikiran Progresif dalam Kajian al-Quran, Elsaq Press: Yogyakarta.
Toshihiko Izutsu, Etika Beragama dalam Quran, 1996, Pustaka Firdaus: Jakarta, hlm. 37.   
……………….., 2003, Relasi Tuhan dan Manusia, diterjemah oleh Agus Fahri Husain, Tiara Wacana: Yogyakarta.
………………, 1993, Konsep-konsep Etika Religius dalam al-Quran, Tiara Wacana: Yogyakarta.
Umma Farida, Pemikiran dan Metode Tafsir al-Quran, Idea Press: Yogyakarta.


[1] Foto Toshihiko Izutsu, diupload dari

[2] Bandingkan dengan http://irvansoleh.blogspot.com/2009/04/semantik-al-quran-dalam-pandangan.html . Diupload pada 19/09/2011.
[3] Mamluatul Hasanah, 2008, Menyingkap Tabir Dua Kalimat Syahadat Perspektif Semantik Tindak Tutur, UIN Malang Press: Malang, hlm. 1
[4] Umma Farida, Pemikiran dan Metode Tafsir al-Quran, Idea Press: Yogyakarta, hlm. 64.
[5]  http://irvansoleh.blogspot.com/2009/04/semantik-al-quran-dalam-pandangan.html
[6] M. Nur Kholis Setiawan, Akar-akar Pemikiran Progresif dalam Kajian al-Quran, Elsaq Press: Yogyakarta, hlm. 88.
[7] Thosihiko Izutsu, 2003, Relasi Tuhan dan Manusia, diterjemah oleh Agus Fahri Husain, Tiara Wacana: Yogyakarta, hlm 3
[8] Toshihiko Izutsu, 1993,  Konsep-konsep Etika Religius dalam al-Quran, Tiara Wacana: Yogyakarta, hlm. 187.

[9]Ibid., hlm. 188.
[10] Ibid., hlm. 197.
[11] Ibid., hlm. 11
[12] Toshihiko Izutsu, 1996,  Etika Beragama dalam Quran, Pustaka Firdaus: Jakarta, hlm. 37.   
[13] Toshihiko Izutsu, Konsep-konsep Etika Religius dalam al-Quran, Op.Cit., hlm. 30
[14] Umma Farida, Op.Cit., hlm. 66
[15] Ibid., hlm. 67
[16] Thosihiko Izutsu, Konsep-konsep Etika Religius dalam al-Quran, Op.Cit., hlm. 266-267.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar