HUBUNGAN
ORGANIS AL-QUR’AN DAN SUNNAH MENURUT MUSTOFA AL-SIBA’I
A. Latar
Belakang Masalah
Al-quran adalah wahyu yang
sangat dibanggakan oleh ummat islam pada umumnya sebagai pokok ajaran islam.
Keontentikannya sangat terjaga sebagaimana yang tersurat dala al-quran
tersebut. Seabagi pokok ajaran yang menjadi ajaran kaum muslim, al-quran lebih
sering memunculkan hukum-hukum yang secara penyampaiannya masih global.
Sehingga, kita sebagai kaum muslim masih bertanya bagaimana kejelasan hukum
yang ada dalam al-quran untuk kita
praktekan secara sytara’. Dari hal ini kita membutuhkan sebuah penjelas
yang tentunya tidak lain kita rujukan pada sang penyampai wahyu illahi yaitu
baginda Rasulullah dengan kita memahami Sunnah-sunnah yang beliau sampaikan.
Sunnah dalam pengertian
kebahasaan: jalan, baik yang terpuji ataupun yang tercela. Dan sunnah dalam
pengertian ahli hadits adalah sesuatu yang didapatkan dari Nabi SAW., yang
terdiri dari sabda, perbuatan, persetujuan, sifat fisik atau budi, atau baik
dari masa sebelum kenabian atau sesudahnya. [1]
Sunnah dalam pengertian ini sinonim
dengan hadits menurut sebagian dari
mereka.
Sebaian besar umat muslim
menyadari pentingnya sunnah dalam sistem keagamaan mereka. Meskipun secara
definisi “sunnah” adalah perilaku para nabi SAW secara keseluruhannya, namun
dalam kenyataannya Sunnah hampir identik dengan hadits, yaitu “laporan” tentang
perilaku nabi.[2]
Berbicara tentang hubungan
organis antara al-Qur-an dengan Sunnah disini sangatlah urgensi sekali, dipandang dari segi bagamana
pentingnya al-qur’an dan sunnah bagi ummat muslim sebagai salah atu rujukan
terpenting dalam islam dalam menentukan hukum-hukum islam.
Dalam hal ini tokoh islam
yang dilahirkan di kota Homs, salah satu dari kota yang ada di negeri Syiria,
pada tahun 1915 M, bertepatan dengan tahun 1333 H. Dengan nama Mustafa
Al-Siba’i. Beliau mengungkapkan adanya hubungan yang organis antara al-Qur’an
dan Sunnah.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang
masalah di atas, penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Siapakah
Mustofa Al-Siba’i itu?
2. Bagaimana
hubungan organis al-qur’an dan sunnah
menurut Mustafa As-siba’i?
3. Bagaimana
aplikasi hubungan organis al-Qur’an dengan as-Sunnah?
C. Pembahasan
1.
Sekilas tentang Musthofa as-Siba’i
Dalam suasana kekuasaan
dunia Islam (Timur) yang kian tidak menentu, yaitu pada akhir masa kekuasaan
Turki Usmani yang sudah lemah dan saat-saat menjelang datangnya kekuasaan Dunia
Barat yang Non-Muslim di negara-negara Islam, Musthafa al-Siba’i lahir.
Nama lengkapnya adalah
Musthafa bin Husni Abu Hasan al-Siba’i. Al-Siba’i dilahirkan di kota Homs,
salah satu dari kota yang ada di negeri Syiria, pada tahun 1915 M, bertepatan
dengan tahun 1333 H. Kota –koya lain yang termasuk tertua di negara seluas
185.180 km2 itu adalah Damaskus, Aleppo atau Haleb, Homs, Latika fan Hama.
Sejak usia 18 tahun dia
pindah ke Mesir, suatu negara yang banyak mempengaruhi perkembangan intelektual
dan kehidupannya baik pada masa remajanyan maupun pada masa kemudian, yang
dilengkapinya dengan terjun diaktifitas politik dalam penggabungan dirinya
dengan Hasan al-Banna, tokoh Ikhwan al-Muslimin.
Jadi, di Homs dan Kairolah
al-Siba’i banyak menimbah ilmu pengetahuan dan pengalaman, yang kemudian
dikenal turut membesarkan namanya. Di Kairo misalnya, pada usia al-Siba’i yang
ke-34 (1949), Universitas al-Azhar sempat mengangkat prestasi akademiknya,
ketika dia berhasil meraih gelar doktor dalam bidang Syari’ah dan Sejarah
Pemikiran Hukum Islam (al-Tasyri’ al-Islami wa Tarikhihi). Dari gelar
doktornya itu terlihat bahwa al-Siba’i adalah seorang ilmuwan yang ahli hukum
atau syari’at islam dan sejarah, yaitu suatu kredebilitas yang dapat
mendudukannya sebagai tokoh yang ahli disiplin hadis dan sejarah. Kenyataan
dimaksud pada masakemudian diikuti dengan pemunculan kitabnya yang merupakan
karya monumentalnya yang berjudul as-Sunnah wa Wamakanatuha fi al-Tasyri’
al-Islami.
Setahun setelah penyelesaian
doktornya, pada tahun 1950 al-Siba’i pulang ke negeri asalnya, Syiria. Sejak
itu, dia memposisikan diri sebagai ilmuwan atau pemikir yang aktif berjuang di
samping sebagai pendidik yang aktif berkiprah di perguruan tinggi, di
organisasi keislaman, juga di dunia penerbitan.
Selama di Syiria itu, dia pernah menangani beberapa jabatan, sejak
sebagai Guru Besar di Fakultas Hukum (Huquq), Dekan Fakultas Syari’ah,
serta Pembimbing Umum Organisasi Ikhwan al-Muslimin (1955). Dalam masa itu
pula, dia sempat mendirikan majalah Hadlarat al-Islam yang ternit secara
reguler. Sewaktu penjajahan Inggris(1882-1914), dia aktif melawan penjajah demi
mempertahankan martabat ummat, sehingga sempat beberapa kali mendekam di
penjara. Misalnya, dia pernah sekitar enam bulan dipenjarakan di Mesir dan
Palestina. Kemudian, sebebasnya dari penjara Farnisin, dia kembali menghunin
penjara di Libanon, selama 30 bulan. Setelah dibebaskan dari penjarah, pada
tahun 1983, dia memperkuat kompi Ikhwan al-Muslimin dalam mempertahankan Baitul
Maqdis.
Dari kombinasi keilmuan yang
dimiliki serta keaktifannya dalam dunia pendidikan serta perjuangan, maka
al-Siba’i juga dikenal sebagai seorang ntokoh yang alim dan ahli tela’ah. Dari
kealimannya di bidang ilmu agama itu, dia telah memperlihatkan kemampuan dalam
mengkaji secara mendalam naskah ilmu-ilmu primer (al-Namth al-Qadim) di
al-Azhar Mesir, juga di dalam pertemuan-pertemuan dengan para alim dan tokoh
cendekiawan Syiria sehingga mampu mengambil apa-apa yang jernih darinya. Dan
ternyata, kemampuannya itu bukan sebatas menguasai ilmu-ilmu yang digali dari
sumber data naskah klasik. Sebab, dia juga tahu banyak tentang ilmu-ilmu
kekinian. Seperti, hasil kunjungannya ke Eropa telah membuatnya banyak
memperoleh ilmu-ilmu baru tentang metodologi keilmuan, kebudayaan dan politik.
Dari penguasaan keahlian dimaksud, kiranya dapat dipahami bila dari buah tangan
al-Siba’i telah diproduk kitab-kitab sesuai dengan keahliannya yang banyak
menyebar di kalangan negara-negara Islam, seperti as-Sunnah wa Makanatuha fi
al-Tasyri’ al-Islami (suatu disiplin hadis dan hukum Islam), al-Mar’ah
bayn al-Fiqh wa al-Qanun (suatu disiplin hukum dan perundang-undangan), Min
Rawa’i Hadlarah-tina(suatu disiplin Sejarah Peradapan Islam),dan al-Isytira-kiyat
al-Islam(Sosialisme Islam).[3]
2.
Hubungan al-Qur’an dan Sunnah menurut Mustafa as-Siba’i
Berbicara tentang mustafa
as-siba’i kita bisa mengambil beberapa pemahamannya termasuk mengenai
pemikirannya tentang al-qur’an dan as-sunnah. Beliau berkata bahwasannya para
sahabat di masa Rasulullah memahami hukum-hukum syara’ dari al-Qur’an yang
mereka terima langsung dari rasulullah, kebanyakan ayat dalam al-Qur’an itu
turun dalam garis besar saja, atau tidak dirinci, atau umum, tidak diberi
batas. Seperti halya perinah sholat yang datang secara garis besar, tanpa ada
keterangan dalam al-Qur’an jumlah rakaatnya, cara mengerjakannya, dan waktunya.[4]
Selanjutnya banyak kejadian
yang mereka alami yang tidqak ada nasnya dalam al-Qur’an. Maka tidak bisa lain
daripada mendapatkan kejelasan hukumnya dengan perantara nabi SAW., sebab
beliau adalah pembawa berita dari Tuhan, dan adalah yang paling tahu dari
seluruh makhluk tentang maksud syari’at Allah, begitu pula batasan, metode dan
tujuannya. Dijelaskan dalam al-qur’an bahwa ada tugas khusus bagi nabi dalam
fungsi sebagi penjelas al-qur’an, sebagaimana Firma Allah :
!$tBur $uZø9tRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# wÎ) tûÎiüt7çFÏ9 ÞOçlm; Ï%©!$# (#qàÿn=tG÷z$# ÏmÏù Yèdur ZpuH÷quur 5Qöqs)Ïj9 cqãZÏB÷sã ÇÏÍÈ
Dan
kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu
dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi
petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (Q.S. An-Nahl: 64)
Dalam
ayat ini dijelaskan bahwasanya Allah menjelaskan bahwa tugas kamu (rasulullah)
itu ialah menunjukkan mana yang benar ketika orang berselisih mengenai suatu
hal. Dari hal ini tampak jelas sekali bahwa dalam al-qur’an mempunyai suatu
hubungan yang sanngat organis dengan Sunnah nabi, dimana posisi sunnah nabi
adalah sebagai penjelas dari al-Qur’an tersebut. Allah telah memberitakan
dalam kitab suci tugas Rasul dalam hubungannya dengan al-Qur’an, bahwa beliau adalah
penerang dan penjelas tentang tujuan-tujuan dan ayat-ayatnya, sebagaiman
difirmankan Allah :
ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ Ìç/9$#ur 3
!$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍkös9Î) öNßg¯=yès9ur crã©3xÿtGt ÇÍÍÈ
Keterangan-keterangan
(mukjizat) dan kitab-kitab. dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa
yang Telah diturunkan kepada mereka[5]dan
supaya mereka memikirkan, (Q.S. An-Nahl: 44)
Dalam
al-quran disebutkan bahwasanya Allah juga mewajibkan manusia menerima keputusan
nabi dari segala perselisihan :
xsù y7În/uur w cqãYÏB÷sã 4Ó®Lym x8qßJÅj3ysã $yJÏù tyfx© óOßgoY÷t/ §NèO w (#rßÅgs þÎû öNÎhÅ¡àÿRr& %[`tym $£JÏiB |MøÒs% (#qßJÏk=|¡çur $VJÎ=ó¡n@ ÇÏÎÈ
Maka
demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.(Q.S.
An-Nisa : 65).
3.
Aplikasi
adanya hubungan yang organis antara teks
al-Qur’an
dan Sunnah
D. Simpulan
·
Mustafa Al-Siba’i adalah tokoh muslim yang dilahirkan
di kota Homs, salah satu dari kota yang ada di negeri Syiria, pada tahun 1915
M, bertepatan dengan tahun 1333 H.
·
Mustafa Al-Siba’i mengungkap adanya hubungan yang
organis antara al-Qur’an dan sunnah karena dalam al-Qur’an sendiri dengan jelas
memerintahkan Nabi (sebagi sumber Sunnah)
untuk menjelaskan al-Qur’an.
·
E. Penutup
Daftar Pustaka
M. Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan
al-Sunnah, Jakarta: Prenada Media, 2003,
Mustafa Al-Siba’i, Sunnah Dan Perananannya Dalam
Penetapan Hukum Islam Sebuah Pembelaan Kaum Sunni (Terj. Nurcholish Madjid),
jakarta: Pustaka Firdaus, 1991,
.
[1]
Dikutip dari Qawa’id al-tahdits, Hlm. 35
[2]
Ungkapan Nurcholish Madjid Dalam pengantarnya pada buku terjemahannya karya
Musthofa Al-Siba’i.
[3]
M. Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah, Jakarta: Prenada
Media, 2003, hal.16-21
[4]
Mustafa Al-Siba’i, Sunnah Dan Perananannya Dalam Penetapan Hukum Islam
Sebuah Pembelaan Kaum Sunni (Terj. Nurcholish Madjid), jakarta: Pustaka
Firdaus, 1991, hal. 3
[5]
Yakni: perintah-perintah,
larangan-larangan, aturan dan lain-lain yang terdapat dalam Al Quran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar